Makalah Akhlak Tasawuf
“QONA’AH”
JURUSAN TADRIS IPA BIOLOGI
FAKULTAS
TARBIYAH DAN KEGURUAN (FTK)
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI (UIN)
MATARAM
2020
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur
atas ke hadirat Allah yang Maha Esa yang karena limpahan nikmat serta hidayah-Nya
kepada kita semua terlebih penyusun sehingga akhirnya Makalah Akhlak Tasawuf
ini dapat terselesaikan. Kedua kalinya sholawat serta salam kepada Nabi kita
tercinta Muhammad shallallah alaihi wasallam yang dengan perjuangan, kerja
keras serta semangat beliau akhirnya kita dapat merasakan manisnya Islam.
Makalah Akhlak Tasawuf
ini telah kami susun semaksimal mungkin, dan kami haturkan banyak terima kasih
kepada para dosen, terutama untuk dosen pengampu mata kuliah Akhlak Tasawuf
bapak Lukman Taufik, M. Pdi. serta pihak-pihak terkait dan rekan-rekan sekalian
atas segala bimbingan dan pengajaran serta bantuannya sehingga dapat lebih
mempermudah dalam penyusunannya. Kritik serta saran yang membangun sangat kami
harapkan guna mempermudah kami dalam menyempurnakan makalah ini.
Penyusun mengharapkan
semoga nantinya makalah Akhlak Tasawuf ini dapat diambil hikmah serta
memberikan mamfaat bagi generasi bangsa kedepannya guna menciptakan kemajuan
serta kedamaian di negeri kita tercinta Indonesia.
Mataram, 8 Mei 2020
Penyusun,
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
A.
Latar Belakang 1
B.
Rumusan Masalah 2
C.
Tujuan 2
BAB
II PEMBAHASAN 3
A.
Pengertian Qona’ah 3
B.
Dasar Hukum Qona’ah 5
C.
Hikmah Qona’ah 6
D.
Aspek-Aspek Qona’ah 9
E.
Qona’ah dalam Kehidupan Sehari-hari 10
BAB III PENUTUP 11
A.
Kesimpulan 11
B.
Saran 11
DAFTAR
PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Qana’ah artinya
sikap merasa cukup atau menerima apa adanya terhadap segala usaha yang telah
dilaksanakannya. Sifat qana’ah
akan mengendalikan diri seseorang dari keinginan memenuhi hawa nafsu. Sebagai
seorang muslim yang berjiwa kuat, sikap qana’ah tentunya sangat penting untuk
dimiliki. Dengan sikap qana’ah seorang muslim akan terhindar dari rasa rakus
dan serakah ingin menguasai sesuatu yang bukan miliknya. Seseorang yang
memiliki sikap qana’ah akan merasa kecukupan dan selalu berlapang dada. Dalam
dirinya yakin akan apa yang ia peroleh dari usahanya adalah atas kehendak Allah
SWT. Ia sadar bahwa hanya Allah yang mengatur rejeki, hidup, mati dan jodoh
seseorang.
Pada zaman
sekarang sikap qona’ah memiliki urgensi yang sangat besar guna menciptakan
suatau masyarakat madani. Hal ini karena hakikat dari qona’ah itu sendiri yakni
menerima serta merasa cukup dengan apa yang diberikan Allah ta’ala. Dalam sudut
pandang materi sikap qana’ah ini
harus dimiliki oleh orang yang kaya maupun orang yang miskin adapun wujud
qana’ah yaitu merasa cukup dengan pemberian Allah, tidak tamak terhadap apa
yang dimiliki manusia, tidak iri melihat apa yang ada di tangan orang lain dan
tidak rakus mencari harta benda dengan menghalalkan segala cara.
Kemudian diharapkan dengan adanya
makalah ini, penyusun dapat lebih mengetahui terkait dengan qona’ah serta
kiat-kiat untuk menggapainya dan menghindari penyakit duniawi yang dapat
merusaknya. Kemudian penyusun juga berharap dapat ikut mengambil andil dalam
melaksanakan UUD 1945 mengenai bagaimana caranya agar dapat menciptakan
generasi penerus bangsa yang cerdas dan bermartabat. Sehingga nantinya tercipta
kondisi negara yang aman, maju dan sejahtera.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apakah yang dimaksud dengan qona’ah?
2.
Apa dasar hukum qona’ah?
3.
Apa hikmah qona’ah?
4.
Apa saja aspek-aspek qona’ah?
5.
Bagaimana penerapan qona’ah dalam kehidupan sehari-hari?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui makna dari qona’ah.
2.
Untuk mengetahui dasar hukum qona’ah.
3.
Untuk mengetahui hikmah qona’ah.
4.
Untuk mengetahui aspek-aspek qona’ah.
5.
Untuk mengetahui penerapan qona’ah dalam kehidupan sehari-hari.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Qona’ah
Qana’ah
menurut bahasa adalah merasa cukup atau rela, sedangkan menurut istilah
ialah sikap rela menerima dan merasa
cukup atas hasil yang diusahakannya serta menjauhkan diri dari dari rasa tidak
puas dan perasaan kurang. Rasulullah mengajarkan kita untuk ridha dengan apa
yang telah ditetapkan oleh Allah SWT, baik itu berupa nikmat kesehatan, keamanan,
maupun kebutuhan harian.[1] Hal ini didasarkan pada hadis
Rasulallah SAW yang diriwayatkan oleh jabir, beliau bersabda yang artinya:
“Qana‘ah (menerima pemberian Allah) adalah harta yang tidak sirna.” (HR.
Thabrani).
Qana‘ah (sikap puas dengan apa yang ada, pent).
Dikatakan juga bahwa qana’ah adalah sikap tenang dalam menghadapi hilangnya
sesuatu yang biasa ada. Muhammad bin ‘Ali at-Tirmidzi menegaskan: qana’ah
adalah kepuasan jiwa atas rejeki yang dilimpahkan kepadanya. Dikatakan qana’ah
adalah menemukan kecukupan di dalam yang ada di tangan.
Rasa cukup terhadap apa yang ada pada diri sendiri,
merupakan ungkapan tentang kecukupan diri sehingga membuat seseorang tidak mengerahkan
kemampuan dan potensinya untuk memperoleh sesuatu yang diinginkan dan disukainya.
Suatu hal yang membuat seseorang kehilangan rasa lapar saat menghadapi sesuatu
keinginan yang tidak dapat direalisasikan, atau suatu kebutuhan yang tidak
mungkin dia penuhi. Dengan perasaan tersebut dia tidak perlu akan
kebutuhan-kebutuhan yang orang lain mungkin sangat mendesak.[2]
Hamka dan Aa-Gym sepakat bahwa qana’ah berarti merasa
puas dan cukup. Maksudnya rezeki yang diperoleh dari Allah dirasa cukup dan
disyukuri. Betapapun penghasilan yang didapat, ia terima dengan ikhlas sambil
terus menerus melakukan ikhtiar secara maksimal dijalan yang diridhai Allah
SWT.[3]
Qana’ah yaitu rela dengan sekedar keperluan berupa
makan, minum, dan pakaian. Maka hendaklah ia merasa cukup sekadar yang paling
sedikit dan dengan jenis yang kurang. Tangguhkan keinginan padanya hingga suatu
hari atau hingga satu bulan agar dirinya tidak terlalu lama bersabar atas
kefakiran. Hal itu mendorong pada ketamakan. Hal itu dapat mendorong pada
ketamakan, meminta-minta dan merendahkan dirinya pada orang-orang kaya.[4]
Menurut kaum sufi qana’ah adalah salah satu akhlak
mulia yaitu menerima rezeki apa adanya dan menganggapnya sebagai kekayaan yang
membuat mereka terjaga statusnya dari meminta-minta kepada orang. Sikap qana’ah
membebaskan pelakunya dari cekam kecemasan dan memberinya kenyamanan psikologis
ketika bergaul dengan manusia.[5]
Menurut Abu
Zakaria Ansari yang dikutip oleh Taofik Yusmansyah mengartikan qana’ah adalah perasaan seseorang bahwa ia
telah merasa cukup dengan apa yang ia miliki, yang sudah dapat memenuhi
keperluan hidupnya, baik berupa makanan, pakaian, maupun lainnya. Sedangkan
qana’ah menurut Atallah ialah
terhentinya keinginan seseorang terhadap apa yang sudah diberikan kepadanya dan
tidak ada lagi keinginannya untuk menambah apa yang sudah ada.[6]
Qana’ah merupakan suatu sikap yang dituntut
dari para sufi, karena qana’ah dapat menjauhkan diri dari ajakan nafsu terhadap
tipu daya kehidupan dunia, yang membuat seseorang lupa akan Allah SWT dan lalai
atas kewajibannya sebagai seorang hamba Allah SWT dalam mempersiapkan diri
menuju kehidupan di akhirat kelak.
Jadi orang yang memiliki sifat qana’ah akan merasa
puas dengan yang diperolehnya dan menjadikan kenikmatan tersebut untuk
menghindari dari hal-hal yang buruk, qana’ah
juga menjadikan seseorang tidak sombong karena berfikir apa yang mereka
dapat hanyalah titipan yang kapan saja bisa hilang.
B. Dasar Hukum Qona’ah
Dasar hukum dari
qona’ah yang paling pokok ada 2 yaitu al-qur’an sebagai firman Allah ta’ala dan
kalam nabi Muhammad shallallahualaihi wasallam. Di dalam al-qur’an surah
at-taubah ayat 51 Allah ta’ala berfirman, yang artinya:
“Katakanlah: Sekali-kali tidak akan menimpa
kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah untuk kami. Dialah
pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus
bertawakal.” (at-Taubah: 51)
Ayat di atas
menjelaskan bahwa segala sesuatu yang menimpa terhadap umat manusia adalah
ketentuan atau ketetapan Allah. Tiada hal yang terjadi tanpa izin Allah. Allah
lah yang Maha melindungi umat manusia dan hanya kepada Allah orang- orang
beriman berserah diri sepenuhnya kepada Allah.
Alqomah berkata, “Ia adalah seseorang yang terkena musibah dan
ia mengetahui bahwa musibah itu dari sisi Allah, maka ia rela dan pasrah.”[7] Dari sini dapat diartikan bahwa apabila seorang
hamba mau memahami bahwa pilihan Allah untuknya adalah lebih baik dari pada
pilihannya sendiri untuk dirinya. Maka
ia bisa menghadapi kehidupannya dengan ridha dan tenang. Ia juga akan mencari
pahala dengan bersabar atas musibah dan cobaan yang menimpa, serta bersyukur
atas nikmat yang diterimanya.
Menurut Hamka
Qona’ah memiliki indikator sebagai berikut: 1) Menerima dengan rela apa yang ada,
2) Memohon kepada Allah tambahan yang pantas dan tetap berusaha, 3) Menerima
dengan sabar akan ketentuan Allah, 4) Bertawakkal kepada Allah, 5) Tidak
tertarik oleh tipu daya dunia.[8]
Dalam
surah al-baqarah ayat 155 Allah ta’ala berfirman, yang artinya:
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan
kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan
buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”
(al-Baqarah: 155)
Kemudian dalam suatu hadis Rasulallah shallallahualaihi wasallam bersabda,
yang artinya:
“Dari Abu
Hurairah R.A berkata, Nabi SAW bersabda: bukannya kekayaan itu karena banyaknya
harta dan benda, tetapi kekayaan yang sebenarnya ialah kekayaan hati.” (Muttafaqun Alaih)
Dan dalam hadis yang lain beliau juga bersabda, yang
artinya:
“Dari Abdillah
bin Amr sesungguhnya Rasulullah saw bersabda; sungguh beruntung orang yang
masuk islam dan rizkinya cukup dan merasa cukup dengan apa-apa yang pemberian
Allah.” (HR Muslim)
C. Hikmah Qona’ah
Menurut Taofik,
manfaat sikap qana’ah di dalam
kehidupan antara lain:
a.
Sebagai Penyeimbang hidup
Sikap qana’ah sebagai penyeimbang hidup dalam kehidupan, karena seorang muslim
yang mempunyai sifat qana’ah tidak
akan terlalu gembira tidak akan terlalu gembira jika mendapat anugerah,
kenikmatan, kesuksesan, popularitas atau jabatan. Ia akan menyadari bahwa
segala yang diperolehnya berasal dari Allah SWTdan juga tidak akan putus asa
atau frustasi jika kehilangan sesuatu yang ia senangi dan banggakan.
b.
Sebagai Penggerak hidup
Seorang muslim yang qana’ah akan
memiliki sikap emosional yang memungkinkannya meraih cita-cita dan kemenangan
baik dalm kehidupan dunia dan akhirat. Sikap qana’ah ini bukan berarti berdiam diri,
berpangku tangan, dan malas bekerja melainkan sikap positif dalam menghadapi
berbagai peluang dan tantangan kehidupan.
Orang yang mempunyai sikap Qana’ah akan selalu menerima apa adanya yang
telah diberikan oleh Allah padanya, ia tidak akan tergiur oleh kemewahan atau
kekayaan yang dimiliki orang lain, karena dirinya sudah merasa cukup dengan apa
yang dimilikinya, karena pada hakikatnya kekayaan itu bukanlah tergantung pada
banyaknya harta melainkan sifat menerima yang dimilikinya. Sifat qana’ah akan membimbing sesorang kepada hal-hal
yang perlu saja. Ia tidak akan hidup menghambur-hamburkan harta untuk hal yang
tidak perlu.
Seseorang yang memiliki sikap qanaah akan menerima
dengan ikhlas semua pemberian Allah swt., dan senantiasa berpikir, Allah telah
memberikan kenikmatan sesuai ukuran kebutuhan kita. Oleh karena itu, ia akan
selalu bersyukur kepada Allah swt. Sikap qanaah
bukan berarti bertindak putus asa dalam mencari rezeki Allah. Manusia harus
tetap berusaha mencari karunia Allah dengan cara-cara yang baik sesuai dengan
kemampuan dan bakatnya. Adapun hasil dari usaha itu harus diterima dengan
lapang dada seraya berserah diri kepada Allah swt.
Ketika berusaha mencari dunia, orang-orang qana'ah
menyikapinya sebagai ibadah yang mulia di hadapan Allah yang Maha kuasa,
sehingga ia tidak berani berbuat licik, berbohong dan mengurangi timbangan. Ia yakin tanpa menghalalkan segala cara apapun, ia
tetap mendapatkan rizki yang dijanjikan Allah. Ia menyadari akhir rizki yang
dicarinya tidak akan melebihi tiga hal; menjadi kotoran, barang usang atau
bernilai pahala di hadapan Allah. Bila kita
mampu merenungi dan mengamalkan makna dan pentingnya qona’ah maka kita akan memperoleh
ketenangan dan ketenteraman hidup. Dan hendaknya diketahui bahwa harta itu akan
ditinggalkan untuk ahli waris. Dalam kehidupan pribadi setiap muslim, sifat qanaah dapat memberikan
manfaat sebagai berikut:
1.
Jiwa akan tenang dan tenteram.
2.
Terhindar dari sifat tamak dan dengki.
3.
Menimbulkan hati yang sabar dan penuh ketabahan.
4.
Terhindar dari kekhawatiran dan keresahan.
5.
Selalu puas terhadap nikmat yang diberikan Allah.
6.
Sabar atas segala cobaan dari Allah.
Masyarakat akan menjadi baik jika dimulai
dari kehidupan pribadi yang baik. Begitu pula manfaat qanaah dalam kehidupan
bermasyarakat. Adanya manfaat qanaah dalam kehidupan pribadi, otomatis dalam
kehidupan bermasyarakat pun sifat qanaah akan bermanfaat. Di antara manfaat
sifat qanaah dalam kehidupan bermasyarakat sebagai berikut:
1. Terjalin hubungan yang harmonis dalam kehidupan
bermasyarakat.
2. Tercipta masyarakat yang senantiasa jujur satu sama
lain dalam setiap perbuatan.
3. Terhindar dari sifat suka menyakiti dan memfitnah.
4. Terhindar dari sifat saling iri dan dengki.
Tidak diragukan lagi bahwa qona’ah dapat menenteramkan jiwa manusia dan
merupakan faktor kebahagiaan dalam kehidupan karena seorang hamba yang qona’ah
dan menerima apa yang dipilihkan Alah untuknya, dia tahu bahwa apa yang
dipilihkan Allah untuknya adalah yang terbaik baginya di segala macam keadaan.[9]
Sikap qona’ah membebaskan pelakunya dari kecemasan dan
memberinya kenyamanan psikologis ketika bergaul dengan manusia. Dzunnun
al-Mashri mengatakan: “Barangsiapa
bersikap qona’ah maka ia bisa merasa nyaman di tengah manusia-manusia
sesamanya.”
Sebaliknya, ketiadaan qona’ah dalam hidup akan
menyeret pelakunya pada penuhanan materi sehingga kebebasannya terampas karena
kerakusan dalam mencari harta duniawi yang memaksanya berbuat apapun untuk
mendapatkan harta.[10]
D. Aspek-Aspek Qona’ah
Menurut Hamka yang
dikutip oleh Labib dan Moh. Al- ‘Aziz dalam bukunya Hamka “Thasawuf Modern”
qana’ah itu mengandung lima perkara:[11]
a.
Menerima dengan rela apa yang ada.
b.
Memohonkan kepada Tuhan tambahan yang
pantas, dan berusaha.
c.
Menerima dengan sabar akan ketentuan Tuhan.
d.
Bertawakal kepada Tuhan.
e.
Tidak tertarik oleh tipu daya manusia.
Orang yang qana’ah adalah menerima apa adanya, dengan
meninggalkan kesenangan nafsu dan sesuatu yang mewah, baik berupa makanan,
pakaian, maupun tempat tinggal. Para Sufi menyatakan bahwa Allah mengajarkan
lima prinsip pembinaan tasawuf dan merupakan perwujudan dari sikap qana’ah, yaitu:[12]
a.
Merasa mulia jika dalam ketaatan.
b.
Merasa hina jika dalam kemaksiatan.
c.
Haibah (wibawa) dalam melakukan shalat di malam hari.
d.
Hikmah di waktu perut sedang kosong.
e.
Merasa kaya dalam sikap qana’ah.
Berdasarkan penjelasan di atas aspek dari qana’ah yaitu menerima dengan rela apa yang
ada, memohonkan kepada Tuhan tambahan yang pantas dan berusaha, menerima dengan
sabar akan ketentuan Tuhan, bertawakal kepada Tuhan, dan tidak tertarik oleh
tipu daya manusia.
E. Qona’ah dalam Kehidupan Sehari-hari
Simulasi dari qana’ah dalam kehidupan kita sehari-hari diantaranya
adalah sebagai brikut:
1.
Selalu ikhlas menerima kenyataan hidup
meskipun dengan keadaan yang sederhana.
2.
Tidak banyak berangan-angan dan berharap
ynag melebihi batas kemampuan dan batas yang ada.
3.
Selalu berusah dan bekerja untuk
memperbaiki nasib kehidupan pada masa yang akan datang.
4.
Selalu berserah diri kepada Allah SWT,
baik dalam kehidupan lapang maupun sempit.
5.
Tidak bersikap iri apalagi hasud kepada
nikmat Allah yang diterima oleh orang lain.
6.
Berprasangka baik atas keputusan dan
takdir Allah ta’ala.
7.
Menjauhkan diri dari sifat tamak, serakah,
prasangka kurang baik .
8.
Jika hasil yang diperoleh tidak
sesuai dengan yang diharapkan tidak mudah kecewa dan putus asa.
9.
Dapat
hidup sesuai dengan kebutuhan.
10. Optimis
tidak pesimis dan tidak putus asa serta tidak berlebihan arahnya membelanjakan
harta sesuai dengan kebutuhan.
11. Selalu yakin bahwa apa yang didapatnya dan yang ada pada
dirinya merupakan anugerah dari Allah SWT.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Qana’ah
menurut bahasa adalah merasa cukup atau rela, sedangkan menurut istilah
ialah sikap rela menerima dan merasa
cukup atas hasil yang diusahakannya serta menjauhkan diri dari dari rasa tidak
puas dan perasaan kurang. Rasulullah mengajarkan kita untuk ridha dengan apa
yang telah ditetapkan oleh Allah SWT, baik itu berupa nikmat kesehatan,
keamanan, maupun kebutuhan harian. Dan untuk dasar hukum dari qona’ah yang paling utama
adalah al-qur’an sebagai firman Allah ta’ala dan hadis sebagai sabda nabi
shallallahualaihi wasallam.
Orang yang mempunyai sikap Qana’ah akan selalu menerima apa adanya yang
telah diberikan oleh Allah padanya, ia tidak akan tergiur oleh kemewahan atau
kekayaan yang dimiliki orang lain, karena dirinya sudah merasa cukup dengan apa
yang dimilikinya, karena pada hakikatnya kekayaan itu bukanlah tergantung pada
banyaknya harta melainkan sifat menerima yang dimilikinya. Sifat qana’ah akan membimbing sesorang kepada hal-hal
yang perlu saja. Ia tidak akan hidup menghambur-hamburkan harta untuk hal yang
tidak perlu.
Prinsip qona’ah menurut para sufi
adalah merasa mulia jika dalam ketaatan,
merasa hina jika dalam kemaksiatan,
haibah (wibawa) dalam melakukan
shalat di malam hari, hikmah di
waktu perut sedang kosong dan merasa
kaya dalam sikap qana’ah. Untuk
aktualisasi qona’ah dalam kehidupan sehari diantaranya dapat berupa selalu
ikhlas menerima kenyataan hidup meskipun dengan keadaan yang sederhana, tidak
banyak berangan-angan dan berharap ynag melebihi batas kemampuan dan batas yang
ada dan lan sebagainya.
B. Saran
Kritik serta saran yang membangun
dari para pembaca sangat diperlukan guna menyempurnakan makalah ini menjadi
lebih baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Ghazali. 2008. Mutiara Ihya’ Ulumuddin Cet 1. Terj.
Irwan Kurniawan. Bandung: Penerbit Mizan.
Al-Kumayi, Sulaiman.
2004. Kearifan Spiritual dari Hamka ke Aa
Gym. Semarang: Pustaka Nuun.
Al-Qathani,
Said bin Musfir. 2006. Buku Putih Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani. Jakarta:Darul Falah.
As-Sallum, Abdullah bin
Fahd. 2006. Dahsyatnya Energi Iman yang Benar.
Terj. Agus Hasan Bashori. Surabaya: La Raiba Bima Amanta.
Fadhullah, Husain,
Muhammad. 1995. Islam dan Logika Kekuatan.
Terj. Afif Muhammad dan H. Abdul Adhim. Bandung: Anggota IKAPI.
Fariz,
Abu, Qadir, Abdul, Muhammad. 2005. Menyucikan
JIwa. Jakarta: Gema Insani.
Hajjad, Fauji, Muhammad.
2011. Tasawuf Islam dan Akhlak. Terj.
Kamran As’ad Irsyady dan Fakhrin Ghozali. Jakarta: Amzah.
Hamka. 1970. Tasawuf Modern. Jakarta: Pustaka
Panjimas.
Labib dan al-‘Aziz,
Muhammad. 2000. Tashawwuf dan Jalan Hidup
Para Wali. Surabaya: Bintang Usaha Jaya.
LAMPIRAN
[1] Muhammad Abdul Qadir Abu
Fariz, Menyucikan JIwa, (Jakarta:
Gema Insani, 2005). hlm. 242
[2] Muhammad Husain Fadhullah, Islam dan Logika Kekuatan, terj. Afif
Muhammad dan H. Abdul Adhim, (Bandung: Anggota IKAPI, 1995), hlm. 57
[3] Sulaiman al-Kumayi, Kearifan Spiritual dari Hamka ke Aa Gym,
(Semarang: Pustaka Nuun, 2004), hlm. 246
[4] Al-Ghazali, Mutiara Ihya’ Ulumuddin Cet 1, terj. Irwan Kurniawan, (Bandung:
Penerbit Mizan), 2008, hlm. 277
[5] Muhammad Fauki Hajjad, Tasawuf Islam dan Akhlak. terj. Kamran
As’ad Irsyady dan Fakhrin Ghozali, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 338-339
[6]
Ensiklopedi Islam, Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005, hlm 319
[7] Abdullah bin Fahd As-Sallum, Dahsyatnya Energi Iman yang Benar,Terjemah
oleh Agus Hasan Bashori, (Surabaya: La Raiba Bima Amanta, 2006), hal. 98
[8] Hamka, Tasawuf Modern, (Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1970), hal. 200
[9] Said bin Musfir al-Qathani, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir al-Jailani,
(Jakarta:Darul Falah, 2006), hlm. 509
[10] Muhammad Fauzi Hajjaj, Tasawuf Islam dan akhlak, (Jakarta: Amzah,
2011), hlm. 339
[11] Labib dan Moh. Al
‘Aziz, Tashawwuf dan Jalan Hidup Para
Wali, Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 2000, hlm 120
[12] Ensiklopedi
Islam, Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005, hlm 320
0 comments:
Post a Comment