Makalah Thibbun Nabawi
“HALAL
DAN HARAM”
JURUSAN TADRIS IPA BIOLOGI
FAKULTAS
TARBIYAH DAN KEGURUAN (FTK)
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI (UIN)
MATARAM
2020
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur
atas ke hadirat Allah yang Maha Esa yang karena limpahan nikmat serta hidayah-Nya
kepada kita semua terlebih penyusun sehingga akhirnya Makalah Thibbun Nabawi
ini dapat terselesaikan. Kedua kalinya sholawat serta salam kepada Nabi kita
tercinta Muhammad shallallah alaihi wasallam yang dengan perjuangan, kerja
keras serta semangat beliau akhirnya kita dapat merasakan manisnya Islam.
Makalah Thibbun Nabawi
ini telah kami susun semaksimal mungkin, dan kami haturkan banyak terima kasih
kepada para dosen, terutama untuk dosen pengampu mata kuliah Thibbun Nabawi
bapak Agam Royana, Lc. M. Ag. serta pihak-pihak terkait dan rekan-rekan
sekalian atas segala bimbingan dan pengajaran serta bantuannya sehingga dapat
lebih mempermudah dalam penyusunannya. Kritik serta saran yang membangun sangat
kami harapkan guna mempermudah kami dalam menyempurnakan makalah ini.
Penyusun mengharapkan
semoga nantinya makalah Thibbun Nabawi ini dapat diambil hikmah serta
memberikan mamfaat bagi generasi bangsa kedepannya guna menciptakan kemajuan
serta kedamaian di negeri kita tercinta Indonesia.
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar
Belakang 1
B. Rumusan
Masalah 2
C. Tujuan 2
BAB
II PEMBAHASAN 3
A. Halal
dan Haram dalam Makanan 3
B. Halal
dan Haram dalam Bahan Obat 4
C. Halal
dan Haram dalam Bahan Kosmetik 5
D. Pola
Makan yang Sehat dan Gizi Seimbang dalam Islam 6
BAB III PENUTUP 8
A. Kesimpulan 8
B. Saran
8
DAFTAR
PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Halal dan haram merupakan
dua istilah dalam agama islam yang kontradiktif. Dalam
islam halal dan haram telah ditentukan dengan jelas, banyak sekali ayat
al-qur’an dan al-hadis yang membahas hal tersebut. Seperti firman-Nya dalam
al-Quran yang artinya “Makanlah makanan
yang halal lagi baik”, demikianlah perintah Allah kepada umat Islam seperti
tertera dalam al-Qur’an dalam surat al-Maidah ayat 88. Dengan demikian,
mengkonsumsi makanan yang halal dan thoyyib merupakan suatu kewajiban bagi umat
Islam.
Problematika pada era
global sekarang ini terdapat pada penetapan kehalalan suatu produk pangan,
tidaklah semudah pada waktu teknologi belum berkembang. Dengan demikian,
diperlukan adanya suatu jaminan dan kepastian akan kehalalan produk-produk
pangan yang dikonsumsi oleh umat islam dengan komunitas muslim terbesar adalah
penduduk Indonesia (lebih dari 85%). Hal ini dikarenakan dapat mempengaruhi
dari kesehatan fisik serta sikis seseorang, dikarenakan jenis makanan tersebut
yang nantinya akan membangun struktur yang ada di dalam tubuh manusia.
Diharapkan dengan adanya makalah ini, penyusun dapat lebih
mengetahui terkait dengan konsep halal dan haram dala islam serta kiat-kiat
untuk mendapatkan yang halal dan menhindari yang haram guna menjaga kesehatan
jasmani dan rohani. Kemudian penyusun juga berharap dapat ikut mengambil andil
dalam melaksanakan UUD 1945 mengenai bagaimana caranya agar dapat menciptakan
generasi penerus bangsa yang cerdas dan bermartabat. Sehingga nantinya tercipta
kondisi negara yang aman, maju dan sejahtera.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep halal dan haram dalam makanan?
2. Bagaimana konsep halal dan haram dala bahan obat?
3. Bagaimana konsep halal dan haram dalam bahan kosmetik?
4. Bagaimana bentuk pola makan yang sehat serta gizi yang
seimbang dalam islam?
C.
Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep halal dan haram dalam makanan.
2. Untuk mengetahui konsep halal dan haram dalam bahan
obat.
3. Untuk mengetahui konsep halal dan haram dalam bahan
kosmetik.
4. Untuk mengetahui bentuk pola makan yang sehat serta
gizi yang seimbang dalam islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Halal dan Haram dalam Makanan
Prinsip
pertama pertama yang ditetapkan Islam, ialah: bahwa asal sesuatu yang dicipta
Allah adalah halal dan mubah. Tidak ada satupun yang haram, kecuali karena ada
nas yang sah dan tegas dari syari' (yang berwenang membuat hukum itu sendiri,
yaitu Allah dan Rasul) yang mengharamkannya. Halal
adalah segala sesuatu yang diperbolehkan oleh syari’at untuk di konsumsi,
Terutama dalam hal makanan dan minuman. Dalam firman Allah swt surat al-Baqarah
ayat 168:
“Hai
sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terbaik dibumi,
dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya
syaitan itu musuh yang nyata bagimu”
Dalam
ayat di atas telah diterangkan bahwa orang-orang islam di syariatkan untuk
makan makanan yang halal dan baik. Makanan yang halal dan baik disini adalah
makanan yang di perbolehkan oleh syarat baik dari segi zatnya, cara
memperolenya dan cara mengolahnya. Adapun makanan yang baik adalah maknan yang
daik bagi kesehatanya dan tidak membahayakan dirinya.
Sedangkan
haram adalah segala sesuatu yang di larang oleh syariat untuk dikonsumsi,
dan apabila tetap dikonsumsi akan mendapatkan dosa kecuali dalam keadaan
terpaksa, serta banyak sekali madhratnya dari pada hikmanya, sebagai contoh
mengkonsumsi darah yang mengalir ini di haramkan karena itu kotor dan dihindari
oleh manusia yang sehat, disampaing itu ada dugaan bahwa darah tersebut dapat
menimbulkan bahaya sebagaimana halnya bangkai.
Maknan
dikatakan halal paling tidak harus memenuhi tiga kriteria, yaitu halal zatnya,
halal cara memperolenya, dan halal cara pengolahannya.[1]
1.
Halal zatnya
Makanan yang halal menurut
zatnya adalah makanan yang dari dasarnya halal untuk di konsumsi. Dan telah di
tetapkan kehalalannya dalam kitab suci al-qur’an dan al-hadist. Centoh
makanan yang halal atas zatnya adalah daging sapi, ayam, kambing,
buah-buahan seperti apel, kurma, anggur, Dan lain sebagainya.
2.
Halal cara
memperolenya
Makanan yang di peroleh
dengan cara yang baik dan sah, Makanan akan menjadi haram apabila cara
memperolehnya dengan jalan yang batil karena itu bisa merugikan orang lain dan
dilarang oleh syariat. Contoh dari cara memperoleh yang baik adalah dengan cara
membeli, bertani, hadiah, dan lain sebagainya.
Adapun dari makanan yang diperoleh dari
makanan yang batil adalah dengan cara mencuri, merampok, menyamun, dan lain
sebagainya.
3.
Halal cara
pengolahanya
Makanan yang semula halal dan akan menjadi haram
apabila cara pengolahanya tidak sesuai dengan syeriat agama. Banyak sekali
makanan yang asalnya halal tetapi karena pengolahanya yang tidak benar
menyebabkan makanan itu mmenjadi haram. Contohnya anggur, makanan ini halal
tetapi karena telah diolah menjadi minuman keras maka minuman ini menjadi
haram. Dalam
firman Allah surat Al-A’raf, ayat 157 yaitu:
“Dan (Allah) menghalkan bagi mereka segala yang
baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk”
Semua hal yang menyangkut dan berhubungan dengan harta
benda hendaknya dilihat dan dihukumi dengan kriteria halal dan haram. Semua
praktek-praktek jahat dan kecurangan yang berhubungan dengan transaksi harta
benda dan kekayaan dilarang. Semua larangan itu berdasarkan satu
prinsip: jangan ada ketidakadilan dan jangan ada penipuan. Setiap orang bisa
melihat aplikasi dari prinsip Al Quran dalam sabda dan perilaku Rasulullah
serta para sahabatnya.
Perbedaan antara halal dan haram bukan saja
mengharuskan tujuannya mesti benar, namun sarana untuk mencapai tujuan itu juga
haruslah baik. Perintah Al Quran untuk mencari nafkah setelah melakukan ibadah
ritual, mengimpliksikan bahwa seseorang hendaknya mengikuti perilaku yang
diperkenankan dan dihalalkan dalam mendapatkan penghasilan. Penyucian hati yang
dihasilkan oleh ibadah ritual juga hendaknya menyucikan niat dan metode mereka
dalam mencari nafkah dengan cara yang halal.
Dalam islam disyaratkan, untuk bisa meraih harta yang
halal harus linear antara niat, proses, dan sarana yang diunakan. Dalam arti,
sekalipun didahului dengan niat (motif) yang baik, akan ttetapijika proses dan
sarana yang dipakai tidak dibenarkan oleh islam, maka niscaya harta yang
dihasilkan tidak akan barokah, dan haram hukumnya. Oleh karena itu pencucian
hati yang dihasilkan melalui ibadah ritual seseorang, hendaknya bisa mensucikan
niat dan metode (cara) mereka dalam mencari nafkah dan penghasilan.[2]
B. Halal dan Haram dalam Bahan Obat
Obat adalah sesuatu yang
dapat menyembuhkan kita dari suatu penyakit yang diderita. Obat dalam arti luas
adalah zat kimia yang dapat mempengaruhi proses hidup dan digunakan dengan
dosis tertentu, dengan harapan dapat mencegah serta menyembuhkan dari suatu
penyakit.[3] Pengobatan
adalah suatu kebudayaan untuk menyelamatkan diri dari penyakit yang mengganggu
hidup. Berikut beberapa pengertian obat secara khusus:
1.
Obat baru, adalah
obat yang berisi zat (berkhasiat/tidak berkhasiat), seperti pembantu, pelaryt,
pengisi, lapisan atau komponen lain yang belum dikenal sehingga tidak diketahui
khasiat dan kegunaannya.
2.
Obat esensial,
adalah obat yang paling banyak dibutuhkan untuk layanan kesehatan masyarakat
dan tercantum dalam daftar obat Esensial Nasional (DOEN) yang ditetapkan oleh
Menteri Kesehatan RI.
3.
Obat Genetik,
adalah obat dengan nama resmi yang ditetapkan dalam FI untuk zat berkhasiat
yang dikandungnya.
4.
Obat Paten, adalah
obat jadi dengan nama dagang yang terdaftar atas nama pembuat yang gelah diberi
kuasa dan obat itu dijual dalam kemasan asli dari perusahaan yang
memproduksinya.
5.
Obat Asli, adalah
obat yang diperoleh langsung dari bahan-bahan alamiah, diolah secara sederhana
berdasarkan pengalaman dan digunakan dalam pengobatan tradisional.
6.
Obat Tradisional, adalah obat yang didapat dari bahan
alam, diolah secara sederhana berdasarkan pengalaman dan digunakan dalam
pengobatan tradisional.
Menurut Anief (1991),
pengertian obat adalah suatu bahan atau campuran bahan yang dimaksudkan untuk
digunakan dalam menentukan diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan,
menyembuhkan penyakit, luka atau kelainan badaniah atau rohaniah pada manusia
atau hewan termasuk memperoleh tubuh atau bagian tubuh manusia.[4]
Mencari dan memilih obat
yang halal adalah wajib bagi setiap umat Islam dan meninggalkan yang haram juga
suatu kewajiaban. Ini bertepatan dengan sabda sabda Rasulullah: “ mencari yang halal itu adalah wajib bagi
setiap orang Islam”, hadis riwayat al-Baihaqi.
Antara isu halal dan
haram dalam medis menjadi menjadi topik diskusi hangat. Kata halal berasal dari
bahasa Arab yang berarti diperbolehkan atau tidak dilarang mengambilnya dalam
Islam. Menurut al-Qur`an, semua makanan yang baik dan bersih adalah halal.
Haram berarti tidak diperbolehkan atau dilarang pengambilannya dalam Islam.
Dalam Islam obat-obatan
yang diharamkan adalah obat-obatan yang mengandung benda-benda najis dan
benda-benda yang diharamkan oleh Allah swt, yaitu alkohol, babi serta zat-zat
yang berbahaya bagi tubuh. Secara umum obat-obatan yang tersedia biasa dalam
bentuk larutan (sirup, elixis, tetesan), sirup antibiotik pada anak, serta
emulsi (obat luar dan obat dalam). Diantaranya ada obat tertentu yang
mengamdung alkohol, seperti sirup atau obat batuk, kandungannya sekitar 1-55 .[5]
Selain alkohol ada juga
obat yang mengandung babi, komponen babi yang diapaki biasanya adalah gelatin
(diambil dari kulit atau tulang babi) yang digunakan sebagai emulgator, serta
lemak yang digunakan sebagai penolong atau tambahan dalam reaksi kimia yang
biasa disebut enzim. Obat ini biasa dalam bentuk kapsul, pil tablet, dan
obat-obatan dalam bentuk lainnya.[6]
Obat jenis lain yang
mengandung bahan yang memabukkan adalah obat bius. Obat bius adalah zat yang
dapat menyebabkan orang yang menggunakannya kehilangan kesadaran, dan dapat
menjadi racun dalam tubuh. Obat bius
biasa dipakai untuk operasi dengan tujuan untuk menghilangkan rasa sakit dan
takut. Namun obat bius banyak disalahgunakan sehingga menjadi racut bagi yang
pemakainya, jenis obat ini seperti morfin, heroin, opinium, dan kokain.
Obat-obatan dikatakan
halal jikalau memenuhi persyaratan srbagai berikut:
1. Tidak mengandung bahan dari hewan yang tidak halal
atau tidak disembelih secara syar`i.
2. Tidak mengandung bahan yang dihukum sebagi najis
menurut syari`at.
3. Aman untuk diambil, tidak beracun, tidak merusak atau
memabukkan dan tidak membahayakan kesehatan.
4. Tidak disedia, diproses atau diproduksi menggunakan
peralatan yang tercemar najis berdasarkan hukum syari`at.[7]
Islam adalah agama yang
lengkap dan sempurna. Allah telah menetapkan kebijakan hukum dalam setiap
permasalahn yang dihadapi oleh setiap manusia apakah terkaid ibadah, akidah,
sistem kehudupan, hukumkesehatan dan lain-lain. Islam sangat peduli dalam aspek kesehatan dan
pengobatan penyakit. Umat Islam disuruh menjaga tubuh agar selalu berada dalam
kondisi sehat dan berikhtiar berobat ketika terinfeksi penyakit. Ini bertepatan
dengan pesan Rasulullah saw: “sesungguhnya
Allah telah menurunkan penyakit dan obatnya, dan Dia telah menjadikamn bagi
setiap penyakit itu penawar, maka kamu semua berobatlah dan janganlah kamu
semua berobat dengan benda-benda yang haram” H.R. Abi Darda’ ra.
Para ulama berbeda
pendapat tentang obat halal dan obat haram, sebagian mereka berpendapat bahwa
apabila seseorang yang sakit dan hanya dapat disembuhkan melalui obat-obat yang
mengandung bahan yang diharamkan, adalah boleh. Karena berpegang pada kebutuhan
akan obat adalah sama dengan kebutuhan akan makanan yang berhubungan dengan
jiwa seseorang sehingga bisa disebut darurat. Namun bagi mereka yang tidak
membolehkan dengan kebutuhan makan, sebagaimana dalam hadis nabi, “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan
penyembuhan kalian dari apa-apa yang diharamkan untuk kalian”.[8]
Sedangkan menurut al
Ghazali, “Bahwa semua hal yang dilarang adalah dibolehkan kecuali dalam keadaan
darurat”.[9] Yusuf
Qordlowi mensyaratkan tentang bolehnya mengkonsumsi makanan haram sebagai
pengobatan yaitu “adanya bahaya yang mengancam jiwa seseorang, tidak ditemukan
obat lain yang sama fungsinya serta direkomendasi oleh dokter ahli terutama
muslim dan terpercaya”.[10]
Secara umum berobat itu
dianjurkan oleh syari`at. Berdasarkan riwayat Abu Darda` ra ia berkata:
Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya
Allah menurunkan penyakit beserta obatnya, dan Dia telah menetapkan bagi setiap
penyakit obatnya, maka janganlah berobat dengan perkara yang haram”. (H.R
Abu Dawud No: 3372).
C.
Halal dan Haram dalam Bahan Kosmetik
Kosmetik
merupakan produk yang unik karena selain memiliki kemampuan untuk memenuhi
kebutuhan mendasar wanita akan kecantikan. Seringkali menjadi sarana bagi
konsumen untuk memperjelas identitas dirinya secara sosial dimata
masyarakat.Seiring perkembangan zaman, kosmetik seolah menjadi kebutuhan primer
bagi sebagian kaum wanita. Penggunaan kosmetik untuk kepentingan berhias
hukumnya boleh dengan syarat yaitu bahan yang digunakan adalah halal dan suci,
ditujukan untuk kepentingan yang dibolehkan secara syar’i dan tidak
membahayakan.
Tumbuh pesatnya
konsumen kelas menengah muslim telah mengubah 180 derajat lanskap persaingan
industri kosmetik di Tanah Air. Kesadaran akan benefit halal dari konsumen
muslim telah menjadikan produsen kosmetik berbondong-bondong menyematkan label
halal pada produknya.[11]
Konsumen kelas
menengah muslim di Indonesia berubah sangat cepat dan
fundamental.Semakinmeningkatnya kemakmuran mereka sebagai akibat keberhasilan
pembangunan selama justru mendorong mereka semakin religius dan spiritual.
“makin makmur, makin pintar, makin relegius”. Kalimat ini sangat tepat
menggambarkan pergeseran itu.
Empat
sosok konsumen muslim, yaitu apathist, conformist, rationalist, dan universalist.
Berikut penjelasan terkait jenis tersebut:
1.
Apathis
Sosok
ini adalah tipe konsumen yang memiliki pengetahuan, wawasan, dan sering kali
tingkat kesejahteraan ekonomi yang masih rendah. Konsumen tipe ini umumnya
tidak memiliki pemahaman yang cukup mengenai produk-produk berlebel Islam atau
menawarkan value proposition yang Islami. Karena itu mereka tak begitu peduli
apakah suatu produk bermuatan nilai-nilai ke Islaman ataupun tidak.
2.
Rationalist
Sosok
ini adalah tipe konsumen yang memiliki pengetahuan, open minded, dan wawasan
global, tetapi memiliki tingkat kepatuhan pada nilai-nilai Islam yang lebih
rendah. bagi mereka label Islam, value proposition syariah atau kehalalan
bukanlah menjadi konsideran penting dalam mengambil keputusan pembelian.
3.
Conformist
Sosok
ini adalah tipe konsumen muslim yang umumnya sangat taat beribadah dan
menerapkan nilai-nilai Islam secara normatif. Untuk mempermudah pengambilan
keputusan, mereka memilih produk-produk yang berlabel Islam.
4.
Universalist
Sosok
konsumen muslim ini di satu sisi memiliki pengetahuan/wawasan luas, pola pikir
global, dan melek teknologi, namun di sisi lain secara teguh menjalankan
nilai-nilai Islam secara substantif, bukan normatif. Mereka
lebih mau menerima perbedaan dan cenderung menjunjung tinggi nilai-nilai yang
bersifat universal. Singkatnya mereka adalah sosok yang toleran, open-mided,
dan inkulsif terhadap nilai-nilai di luar Islam.[12]
Halal is My Lifestyle
seiring naiknya kesadaran beragama pada konsumen kelas menengah muslim, halal
menjadi salah satu faktor pertimbangan penting dalam memutuskan pembelian.
Bahkan, sebagian besar mereka menilai bahwa halal telah menjadi gaya hidup.
Artinya, halal menjadi hal paling penting saat akan membeli atau menggunakan
berbagai produk konsumsi. Kalau tidak halal, maka mereka cenderung akan menolak
menggunakannya, kecuali dalam kondisi mudharat sebagaimana dibolehkan oleh
ajaran agama.
Yuswohady dalam bukunya,
untuk mengecek label halal survei di 6 kotabahwa, label halal merupakan
preferensi utama konsumen kelas menengah muslim dalam melakukan keputusan
pembelian kosmetik. Kehalalan mengalahkan bentuk keamanan, komposisi bahan
kandungan, harga, merek, dan lainnya. Artinya, mereka merasa kepatuhan pada
ajaran agama atau benefit halal merupakan yang utama sebelum melihat benefit
halalmerupakan yang utama sebelum melihat benefit fungsional dan emosional produk.
Mereka semakin sadar pentingnya mengecek status kehalalan sebelum mengonsumsi
produk. Ini terlihat dari pernyataan 95% responden yang menilai pentinya
mengecek logo halal sebelum menggunakan produk kosmetik.
Kosmetik halal adalah
kosmetik mengandung bahan-bahan halal dan diolah dengan cara-cara yang sesuai
dengan kaidah-kaidah Islam. Selama ini, konsumen khawatir bahwa kosmetik yang
digunakan mengandung bahan-bahan haram seperti penggunaan alkohol atau minyak
babi. Bagi konsumen muslim, alkohol dan minyak babi dilarang untuk digunakan
dan dikonsumsi. Oleh karena itu, mereka sangat hati-hati menggunakan kosmetik. Dalam
surat Al-Baqarah ayat 168 Allah SWT berfirman:
Artinya: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal
lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti
langkah-langkah setan; Karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata
bagimu.” (QS. Al-Baqarah:168)
Jaminan kehalalan suatu
produk dapat diwujudkan diantaranya dalam bentuk sertifikat halal yang
menyertai suatu produk, dengan sertifikat tersebut produsen dapat mencantumkan
logo halal pada kemasannya. Masalahnya bagaimana menjamin bahwa sertifikat
halaltersebut telah memenuhi kaidah syariah yang ditetapkan dalam penetapan
kehalalan suatu produk pangan, dalam hal ini akan berkaitan dengan kompetensi
lembaga yang mengeluarkan sertifikat halal. Penetapan kehalalan suatu produk
dilakukan oleh suatu lembaga sertifikasi halal dimana lembaga sertifikasi halal
ini memiliki komisi fatwa sendiri yang memenuhi persyaratan dan keanggotaan
yang ditetapkan oleh MUI.[13]
D.
Pola
Makan yang Sehat dan Gizi Seimbang dalam Islam
Makanan merupakan obat untuk merangsang pertumbuhan sel-sel
otak, memperbaiki fumgsinya, meningkatkan daya ingat dan konsentrasi. pola
makan sehat harus memperhatikan faktor J4A, yaitu jumlah, jenis, jadwal dan
jurus masak serta yang terpenting juga adalah aktivitas fisik secara teratur
yang membantu proses dari hasil pola makan sehat dengan mengahasilkan bentuk
badan yang ideal dan sehat.[14]
Islam sangat hati-hati dalam kesehatan, salah satunya
dalam hal makanan dari segi halal haram dan baik. Halal adalah suatu yang
dibolehkan secara agama, sedangkan baik adalah sesuatu yang pada dasarnya tidak
merusak fisik dan pikiran, dan harus memenuhi syarat dari segi kebersihan.
Pernyataan al-Maragi yang dikutip dalam buku Syarfaini, mengatakan bahwa
hendaklah manusia mau memikirkan tentang kejadian dirinya dan makanan yang
dimakannya. Cara makanan diciptakan dan disediakan untuknya sehingga bisa
dijadikan menunjang kelangsung hidupnya. Disamping itu, dapat pula merasakan
kelezatan makanan yang menunjang kekuatan tubuhnya.[15]
Pada dasarnya yang telah diketahui bahwa makanan adalah pemeliharaan kehidupan, semua
makhluk hidup yang diciptakan Allah swt. dipermukaan bumi, mutlak
memerlukannya. Makanan memberinya kekuatan esensial bagi kehidupannya, meyuplai
unsur-unsur yang akan membentuk sel tubuhnya dan memperbaharui yang rusak. Hal
itu disebabkan asal penciptaan manusia
adalah dari tanah liat dan debu.[16]
Selain dari itu, makanan adalah bahan dimakan oleh
makhluk hidup untuk memberikan energi dan nutrisi. Gizi menurut Islam berasal
dari bahasa arab” al-Gizzai” yang artinya makanan dan manfaatnya untuk
kesehatan, juga dapat diartikan sari makanan yang bermanfaat untuk kesehatan.
Gizi adalah suatu proses organism menggunakan makanan yang dikonsumsi secara
normal melalui proses digesti, absorbsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme
dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan,
pertumbuhan dan fungsi normal dari organ-organ serta menghasilkan energi.[17]
Mengenai masalah pengaruh gizi terhadap berbagai
kalangan, yaitu tidak hanya bagi daya belinya rendah tetapi juga bagi yang daya
belinya Tinggi. Mengapa demikian? Sebab, bagi daya belinya rendah, akan
mengalami kekurangan gizi. Sedangkan bagi daya belinya tinggi dapat membeli
semua jenis makanan, sehingga kebiasaan makanannya sering berlebihan dan tidak
sehat. Akibatnya kelompok ini mudah terserang penyakit degenerative seperti
darah tinggi, kanker, kencing manis dan kegemukan.
Dalam al-Qur’an memakai tiga kata ketika melarang
berlebih-lebihan yaitu “ta‘tadu, tusrifu atau israf, tabzir.
1.
Ta‘tadu adalah berlebih-belihan yang
dimaksud kata ini ialah adalah dari aspek hukumnya.
2.
Tusrifu adalah berlebih-lebihan dalam
mengkonsumsi makanan, maksudnya melebihi porsi penyimpanan yang ada pada
lambung (kekenyangan). Hal demikian tidak sesuai dengan ilmu kesehatan (1/3
makan, 1/3 minum, dan 1/3 nafas) dan akan berdampak jelek (menimbulkan
penyakit) pada tubuh dan otak (bias membuat otak menjadi tumpul.
3.
Tabzir adalah berlebihan-lebihan dalam
mengambil makanan akan tetapi tidak mampu menghabisinya sehingga dibuang begitu
saja. Hal demikian sangat berbahaya pada sifat dan rohani (lalai dan sombong).[18]
Dalam pengkajian ini, menggunakan kata Tusrifu yaitu
Islam melarang berlebih-lebihan dalam hal makanan, makan bukan karena lapar
hingga kekenyangan, namun Islam menegaskan kepada orang muslim untuk menjaga
etika ketika makan. Dalam pandangan sains, makan secara berlebihan hingga
memenuhi volume maksimal lambung memang tidak baik, karena jika lambung yang
berfungsi untuk mencerna karbohidrat tidak bisa bekerja secara maksimal,
makanan yang dimakan menjadi sia-sia. Jadi, makan yang baik memang secukupnya
saja, namun dengan nutrisi yang lengkap.[19]
Dengan pengetahuan yang benar mengenai gizi maka orang akan tahu dan berupaya untuk
mengatur pola makannya sedemikian rupa sehingga seimbang, yaitu tidak
berkekurangan dan tidak berlebihan, dengan memanfaatkan bahan pangan setempat
yang ada. Jadi, masalah gizi yang timbul–apakah itu kurang gizi atau lebih sebenarnya
disebabkan oleh perilaku seseorang yang salah, yakni tidak adanya keseimbangan
antara konsumsi gizi dan kecukupan gizi yang diperlukan tubuhnya.[20]
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam mengingatkan kepada kita bahwa perut bukanlah wadah yang siap diisi
apa saja sesuai keinginan kita. Sekalipun ia diisi, tidak boleh berlebihan
sehingga melebihi batas kemampuannya, sebagaimana dalam hadits, “Keturunan Adam tidak dianggap menjadikan
perutnya sebagai wadah yang buruk jika memenuhinya dengan beberapa suap yang
dapat menegakkan tubuhnya. Karena itu, apa yang dia harus lakukan adalah
sepertiga perutnya untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga lagi
untuk napas.” (HR Ahmad).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Prinsip
pertama pertama yang ditetapkan Islam, ialah: bahwa asal sesuatu yang dicipta
Allah adalah halal dan mubah. Tidak ada satupun yang haram, kecuali karena ada
nas yang sah dan tegas dari syari' (yang berwenang membuat hukum itu sendiri,
yaitu Allah dan Rasul) yang mengharamkannya. Halal
adalah segala sesuatu yang diperbolehkan oleh syari’at untuk di konsumsi,
Terutama dalam hal makanan dan minuman.
Obat-obatan dikatakan
halal jikalau memenuhi persyaratan srbagai berikut. Pertama tidak mengandung
bahan dari hewan yang tidak halal atau tidak disembelih secara syar`I, kedua tidak
mengandung bahan yang dihukum sebagi najis menurut syari`at, ketiga aman untuk
diambil, tidak beracun, tidak merusak atau memabukkan dan tidak membahayakan
kesehatan dan terakhir adalah tidak disedia, diproses atau diproduksi
menggunakan peralatan yang tercemar najis berdasarkan hukum syari`at.
Kosmetik halal adalah
kosmetik mengandung bahan-bahan halal dan diolah dengan cara-cara yang sesuai
dengan kaidah-kaidah Islam. Jaminan kehalalan
suatu produk dapat diwujudkan diantaranya dalam bentuk sertifikat halal yang
menyertai suatu produk, dengan sertifikat tersebut produsen dapat mencantumkan
logo halal pada kemasannya. Dan untuk pola makan yang sehat dapat berupa makan dengan porsi sepertiga perutnya untuk makanan, sepertiga untuk
minuman, dan sepertiga lagi untuk napas dengan memperhatikan keseimbangan gizi,
yaitu kebutuhan yang dibutuhkan oleh tubuh untuk melakukan kerjanya secara
proporsional.
B. Saran
Kritik serta saran
yang membangun sangatlah diharapkan guna menyempurnakan makalah ini menjadi
lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Wahid. 2003. Halal Dan Haram Dalam Islam. Surakarta:
Era Intermedia.
Al-Asyhar, Thobieb dan Zubaidi,
A. 2002. Bahaya Makanan Haram. Jakarta:
Al-Mawardi Irama.
Anief, M. 1991. Apa Yng Perlu Diketahui Tentang Obat. Yogyakarta:
Gajah Mada.
Apriyantono, Anton dan
Nurbowo. 2003. Panduan Belanja dan
Konsumsi Halal. Jakarta: Khairul Bayaan.
Djakfar, Muhammad. 2007. Agama, Etika, dan ekonomi wacana menuju
pengembangan ekonomi rabbaniyah. Malang: UIN-Press.
Djakfar, Muhammad. 2009. Hukum Bisnis. Malang: UIN Malang Press.
Mahram, Jamaluddin dan Mubasyir,
Hafna, Azim, Abdul. 2005. Al-Qur’an
Bertutur Tentang Makanan dan Obat-obatan. Yogyakarta: Mitra Pustaka.
Maslehuddin, M. 1985. Islamic Yurisprudence And The Rule Of
Necessety And Need, terj. A. Tafsir. Bandung: Pustaka.
Qordlowi, Yusuf. 2003. Halal Wa Haram Fil Islam. Surakarta: Era
Intermedia.
Syamsul, K. A. dkk. 2012.
Fikih Kedokteran. Malaysia: PTS
Millennia.
Syarfaini. 2012. Dasar dasar Ilmu Gizi. Makassar:
Alauddin University Press.
Yuswohady, dkk. 2015. Marketing To The Middle Class Muslim Cetakan
Kedua. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
LAMPIRAN
[1] Prof. Dr.H. Muhammad
Djakfar,.S.H.,M. Ag, Hukum Bisnis, (UIN Malang Press, 2009)
hlm. 194
[2] H. Muhammad Djakfar, Agama, Etika, dan ekonomi wacana menuju
pengembangan ekonomi rabbaniyah, (malang: UIN-Press, 2007), hlm. 148-149
[3]Thobieb Al-Asyhar dan A. Zubaidi, Bahaya Makanan Haram, (Jakarta:
Al-Mawardi Irama, 2002), hlm. 37
[4] M. Anief, Apa Yng Perlu Diketahui Tentang Obat, (Yogyakarta: Gajah Mada,
1991), hlm. 3.
[5] Thobieb Al-Asyhar dan A. Zubaidi, Bahaya Makanan Haram, (Jakarta:
Al-Mawardi Irama, 2002), hlm. 38
[6] Ibid., hlm. 39.
[7] KA.Syamsul dkk, Fikih Kedokteran (Malaysia: PTS Millennia, 2012)
[8] Wahid Ahmad, Halal Dan Haram Dalam Islam, (Surakarta: Era Intermedia, cet III,
2003), hlm. 84
[9] M. Maslehuddin, Islamic Yurisprudence And The Rule Of
Necessety And Need, terj. A. Tafsir (Bandung: Pustaka, cet I, 1985), hlm.
54.
[10] Yusuf Qordlowi, Halal Wa Haram Fil Islam (Surakarta: Era
Intermedia, cet III, 2003), hlm. 84
[11] Yuswohady dkk, Marketing To The Middle Class Muslim Cetakan
Kedua, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2015), hal 71.
[12] Ibid.,hlm. 13-16
[13] Anton Apriyantono dan Nurbowo, Panduan Belanja dan Konsumsi Halal,
Jakarta: Khairul Bayaan, 2003, hlm. 5.
[14] Hanjaya Siaputra, dkk., “Pola Perilaku Hidup Sehat Pra Lansia Dalam
Mengkonsumsi Makanan Sehari-hari di Maureen Studio”, Universitas Kristen
Petra, (t.th): hlm. 131.
[15] Syarfaini, Dasar dasar Ilmu Gizi, (Cet. I; Makassar: Alauddin University
Press, 2012), h. 88
[16]
Jamaluddin Mahram dan ‘Abdul
‘Azim Hafna Mubasyir, Al-Qur’an Bertutur
Tentang Makanan dan Obat-obatan (Cet. I; Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2005),
h. 200.
[17] Syarfaini, Dasar dasar Ilmu Gizi, h. 26
[18]
Abdul Mutakabbir, Makanan Sehat Dalam Al-Qur’an (Kajian
Tahlili terhadap QS. Al-Baqarah/2:61), Skripsi (2015), h. 106.
[19] Syarfaini, Dasar dasar Ilmu Gizi, h. 90
[20] Eko Budi Minarno dan Liliek
Hariani, Gizi dan Keshatan: Perspektif
al-Qur’an dan Sains, h. 213-214.
0 comments:
Post a Comment