Monday 4 January 2021

L. Edwin Arwana: Makalah Halal dan Haram

 Makalah Thibbun Nabawi

 

 

“HALAL DAN HARAM”

 



 



 

 

 

JURUSAN TADRIS IPA BIOLOGI

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN (FTK)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

MATARAM

2020

 

 

 

 


KATA PENGANTAR

 

Segala puji dan syukur atas ke hadirat Allah yang Maha Esa yang karena limpahan nikmat serta hidayah-Nya kepada kita semua terlebih penyusun sehingga akhirnya Makalah Thibbun Nabawi ini dapat terselesaikan. Kedua kalinya sholawat serta salam kepada Nabi kita tercinta Muhammad shallallah alaihi wasallam yang dengan perjuangan, kerja keras serta semangat beliau akhirnya kita dapat merasakan manisnya Islam.

Makalah Thibbun Nabawi ini telah kami susun semaksimal mungkin, dan kami haturkan banyak terima kasih kepada para dosen, terutama untuk dosen pengampu mata kuliah Thibbun Nabawi bapak Agam Royana, Lc. M. Ag. serta pihak-pihak terkait dan rekan-rekan sekalian atas segala bimbingan dan pengajaran serta bantuannya sehingga dapat lebih mempermudah dalam penyusunannya. Kritik serta saran yang membangun sangat kami harapkan guna mempermudah kami dalam menyempurnakan makalah ini.

Penyusun mengharapkan semoga nantinya makalah Thibbun Nabawi ini dapat diambil hikmah serta memberikan mamfaat bagi generasi bangsa kedepannya guna menciptakan kemajuan serta kedamaian di negeri kita tercinta Indonesia.

 

 

 

 

 

 

DAFTAR ISI

 

COVER

KATA PENGANTAR                                                                                  ii

DAFTAR ISI                                                                                                 iii

BAB I PENDAHULUAN                                                                             1

A.  Latar Belakang                                                                               1

B.  Rumusan Masalah                                                                          2

C.  Tujuan                                                                                             2

BAB II PEMBAHASAN                                                                              3

A. Halal dan Haram dalam Makanan                                                  3

B.  Halal dan Haram dalam Bahan Obat                                             4

C.  Halal dan Haram dalam Bahan Kosmetik                                      5

D. Pola Makan yang Sehat dan Gizi Seimbang dalam Islam             6

BAB III PENUTUP                                                                                      8

A.  Kesimpulan                                                                                     8         

B.  Saran                                                                                              8

DAFTAR PUSTAKA                                                                                              

LAMPIRAN


BAB I

PENDAHULUAN

 

A.      Latar Belakang

Halal dan haram merupakan dua istilah dalam agama islam yang kontradiktif. Dalam islam halal dan haram telah ditentukan dengan jelas, banyak sekali ayat al-qur’an dan al-hadis yang membahas hal tersebut. Seperti firman-Nya dalam al-Quran yang artinya “Makanlah makanan yang halal lagi baik”, demikianlah perintah Allah kepada umat Islam seperti tertera dalam al-Qur’an dalam surat al-Maidah ayat 88. Dengan demikian, mengkonsumsi makanan yang halal dan thoyyib merupakan suatu kewajiban bagi umat Islam.

Problematika pada era global sekarang ini terdapat pada penetapan kehalalan suatu produk pangan, tidaklah semudah pada waktu teknologi belum berkembang. Dengan demikian, diperlukan adanya suatu jaminan dan kepastian akan kehalalan produk-produk pangan yang dikonsumsi oleh umat islam dengan komunitas muslim terbesar adalah penduduk Indonesia (lebih dari 85%). Hal ini dikarenakan dapat mempengaruhi dari kesehatan fisik serta sikis seseorang, dikarenakan jenis makanan tersebut yang nantinya akan membangun struktur yang ada di dalam tubuh manusia.

Diharapkan dengan adanya makalah ini, penyusun dapat lebih mengetahui terkait dengan konsep halal dan haram dala islam serta kiat-kiat untuk mendapatkan yang halal dan menhindari yang haram guna menjaga kesehatan jasmani dan rohani. Kemudian penyusun juga berharap dapat ikut mengambil andil dalam melaksanakan UUD 1945 mengenai bagaimana caranya agar dapat menciptakan generasi penerus bangsa yang cerdas dan bermartabat. Sehingga nantinya tercipta kondisi negara yang aman, maju dan sejahtera.

B.       Rumusan Masalah

1.      Bagaimana konsep halal dan haram dalam makanan?

2.      Bagaimana konsep halal dan haram dala bahan obat?

3.      Bagaimana konsep halal dan haram dalam bahan kosmetik?

4.      Bagaimana bentuk pola makan yang sehat serta gizi yang seimbang dalam islam?

C.      Tujuan

1.      Untuk mengetahui konsep halal dan haram dalam makanan.

2.      Untuk mengetahui konsep halal dan haram dalam bahan obat.

3.      Untuk mengetahui konsep halal dan haram dalam bahan kosmetik.

4.      Untuk mengetahui bentuk pola makan yang sehat serta gizi yang seimbang dalam islam.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.      Halal dan Haram dalam Makanan

Prinsip pertama pertama yang ditetapkan Islam, ialah: bahwa asal sesuatu yang dicipta Allah adalah halal dan mubah. Tidak ada satupun yang haram, kecuali karena ada nas yang sah dan tegas dari syari' (yang berwenang membuat hukum itu sendiri, yaitu Allah dan Rasul) yang mengharamkannya. Halal adalah segala sesuatu yang diperbolehkan oleh syari’at untuk di konsumsi, Terutama dalam hal makanan dan minuman. Dalam firman Allah swt surat al-Baqarah ayat 168:

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terbaik dibumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu

Dalam ayat di atas telah diterangkan bahwa orang-orang islam di syariatkan untuk makan makanan yang halal dan baik. Makanan yang halal dan baik disini adalah makanan yang di perbolehkan oleh syarat baik dari segi zatnya, cara memperolenya dan cara mengolahnya. Adapun makanan yang baik adalah maknan yang daik bagi kesehatanya dan tidak membahayakan dirinya.

Sedangkan haram adalah segala sesuatu yang di larang oleh syariat untuk dikonsumsi, dan apabila tetap dikonsumsi akan mendapatkan dosa kecuali dalam keadaan terpaksa, serta banyak sekali madhratnya dari pada hikmanya, sebagai contoh mengkonsumsi darah yang mengalir ini di haramkan karena itu kotor dan dihindari oleh manusia yang sehat, disampaing itu ada dugaan bahwa darah tersebut dapat menimbulkan bahaya sebagaimana halnya bangkai.

Maknan dikatakan halal paling tidak harus memenuhi tiga kriteria, yaitu halal zatnya, halal cara memperolenya, dan halal cara pengolahannya.[1]

1.      Halal zatnya

Makanan yang halal menurut zatnya adalah makanan yang dari dasarnya halal untuk di konsumsi. Dan telah di tetapkan kehalalannya dalam kitab suci al-qur’an dan al-hadist. Centoh makanan yang halal atas zatnya adalah daging sapi, ayam, kambing, buah-buahan seperti apel, kurma, anggur, Dan lain sebagainya.

2.      Halal cara memperolenya

Makanan yang di peroleh dengan cara yang baik dan sah, Makanan akan menjadi haram apabila cara memperolehnya dengan jalan yang batil karena itu bisa merugikan orang lain dan dilarang oleh syariat. Contoh dari cara memperoleh yang baik adalah dengan cara membeli, bertani, hadiah, dan lain sebagainya. Adapun dari makanan yang diperoleh dari makanan yang batil adalah dengan cara mencuri, merampok, menyamun, dan lain sebagainya.

3.      Halal cara pengolahanya

Makanan yang semula halal dan akan menjadi haram apabila cara pengolahanya tidak sesuai dengan syeriat agama. Banyak sekali makanan yang asalnya halal tetapi karena pengolahanya yang tidak benar menyebabkan makanan itu mmenjadi haram. Contohnya anggur, makanan ini halal tetapi karena telah diolah menjadi minuman keras maka minuman ini menjadi haram. Dalam firman Allah surat Al-A’raf, ayat 157 yaitu:

Dan (Allah) menghalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk

Semua hal yang menyangkut dan berhubungan dengan harta benda hendaknya dilihat dan dihukumi dengan kriteria halal dan haram. Semua praktek-praktek jahat dan kecurangan yang berhubungan dengan transaksi harta benda dan kekayaan dilarang. Semua larangan itu berdasarkan satu prinsip: jangan ada ketidakadilan dan jangan ada penipuan. Setiap orang bisa melihat aplikasi dari prinsip Al Quran dalam sabda dan perilaku Rasulullah serta para sahabatnya.

Perbedaan antara halal dan haram bukan saja mengharuskan tujuannya mesti benar, namun sarana untuk mencapai tujuan itu juga haruslah baik. Perintah Al Quran untuk mencari nafkah setelah melakukan ibadah ritual, mengimpliksikan bahwa seseorang hendaknya mengikuti perilaku yang diperkenankan dan dihalalkan dalam mendapatkan penghasilan. Penyucian hati yang dihasilkan oleh ibadah ritual juga hendaknya menyucikan niat dan metode mereka dalam mencari nafkah dengan cara yang halal.

Dalam islam disyaratkan, untuk bisa meraih harta yang halal harus linear antara niat, proses, dan sarana yang diunakan. Dalam arti, sekalipun didahului dengan niat (motif) yang baik, akan ttetapijika proses dan sarana yang dipakai tidak dibenarkan oleh islam, maka niscaya harta yang dihasilkan tidak akan barokah, dan haram hukumnya. Oleh karena itu pencucian hati yang dihasilkan melalui ibadah ritual seseorang, hendaknya bisa mensucikan niat dan metode (cara) mereka dalam mencari nafkah dan penghasilan.[2]

B.       Halal dan Haram dalam Bahan Obat

Obat adalah sesuatu yang dapat menyembuhkan kita dari suatu penyakit yang diderita. Obat dalam arti luas adalah zat kimia yang dapat mempengaruhi proses hidup dan digunakan dengan dosis tertentu, dengan harapan dapat mencegah serta menyembuhkan dari suatu penyakit.[3] Pengobatan adalah suatu kebudayaan untuk menyelamatkan diri dari penyakit yang mengganggu hidup. Berikut beberapa pengertian obat secara khusus:

1.      Obat baru, adalah obat yang berisi zat (berkhasiat/tidak berkhasiat), seperti pembantu, pelaryt, pengisi, lapisan atau komponen lain yang belum dikenal sehingga tidak diketahui khasiat dan kegunaannya.

2.      Obat esensial, adalah obat yang paling banyak dibutuhkan untuk layanan kesehatan masyarakat dan tercantum dalam daftar obat Esensial Nasional (DOEN) yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan RI.

3.      Obat Genetik, adalah obat dengan nama resmi yang ditetapkan dalam FI untuk zat berkhasiat yang dikandungnya.

4.      Obat Paten, adalah obat jadi dengan nama dagang yang terdaftar atas nama pembuat yang gelah diberi kuasa dan obat itu dijual dalam kemasan asli dari perusahaan yang memproduksinya.

5.      Obat Asli, adalah obat yang diperoleh langsung dari bahan-bahan alamiah, diolah secara sederhana berdasarkan pengalaman dan digunakan dalam pengobatan tradisional.

6.       Obat Tradisional, adalah obat yang didapat dari bahan alam, diolah secara sederhana berdasarkan pengalaman dan digunakan dalam pengobatan tradisional.

Menurut Anief (1991), pengertian obat adalah suatu bahan atau campuran bahan yang dimaksudkan untuk digunakan dalam menentukan diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit, luka atau kelainan badaniah atau rohaniah pada manusia atau hewan termasuk memperoleh tubuh atau bagian tubuh manusia.[4]

Mencari dan memilih obat yang halal adalah wajib bagi setiap umat Islam dan meninggalkan yang haram juga suatu kewajiaban. Ini bertepatan dengan sabda sabda Rasulullah: “ mencari yang halal itu adalah wajib bagi setiap orang Islam”, hadis riwayat al-Baihaqi.

Antara isu halal dan haram dalam medis menjadi menjadi topik diskusi hangat. Kata halal berasal dari bahasa Arab yang berarti diperbolehkan atau tidak dilarang mengambilnya dalam Islam. Menurut al-Qur`an, semua makanan yang baik dan bersih adalah halal. Haram berarti tidak diperbolehkan atau dilarang pengambilannya dalam Islam.

Dalam Islam obat-obatan yang diharamkan adalah obat-obatan yang mengandung benda-benda najis dan benda-benda yang diharamkan oleh Allah swt, yaitu alkohol, babi serta zat-zat yang berbahaya bagi tubuh. Secara umum obat-obatan yang tersedia biasa dalam bentuk larutan (sirup, elixis, tetesan), sirup antibiotik pada anak, serta emulsi (obat luar dan obat dalam). Diantaranya ada obat tertentu yang mengamdung alkohol, seperti sirup atau obat batuk, kandungannya sekitar 1-55 .[5]

Selain alkohol ada juga obat yang mengandung babi, komponen babi yang diapaki biasanya adalah gelatin (diambil dari kulit atau tulang babi) yang digunakan sebagai emulgator, serta lemak yang digunakan sebagai penolong atau tambahan dalam reaksi kimia yang biasa disebut enzim. Obat ini biasa dalam bentuk kapsul, pil tablet, dan obat-obatan dalam bentuk lainnya.[6]

Obat jenis lain yang mengandung bahan yang memabukkan adalah obat bius. Obat bius adalah zat yang dapat menyebabkan orang yang menggunakannya kehilangan kesadaran, dan dapat menjadi racun dalam tubuh.  Obat bius biasa dipakai untuk operasi dengan tujuan untuk menghilangkan rasa sakit dan takut. Namun obat bius banyak disalahgunakan sehingga menjadi racut bagi yang pemakainya, jenis obat ini seperti morfin, heroin, opinium, dan kokain.

Obat-obatan dikatakan halal jikalau memenuhi persyaratan srbagai berikut:

1.    Tidak mengandung bahan dari hewan yang tidak halal atau tidak disembelih secara syar`i.

2.    Tidak mengandung bahan yang dihukum sebagi najis menurut syari`at.

3.    Aman untuk diambil, tidak beracun, tidak merusak atau memabukkan dan tidak membahayakan kesehatan.

4.    Tidak disedia, diproses atau diproduksi menggunakan peralatan yang tercemar najis berdasarkan hukum syari`at.[7]

Islam adalah agama yang lengkap dan sempurna. Allah telah menetapkan kebijakan hukum dalam setiap permasalahn yang dihadapi oleh setiap manusia apakah terkaid ibadah, akidah, sistem kehudupan, hukumkesehatan dan lain-lain. Islam sangat peduli dalam aspek kesehatan dan pengobatan penyakit. Umat Islam disuruh menjaga tubuh agar selalu berada dalam kondisi sehat dan berikhtiar berobat ketika terinfeksi penyakit. Ini bertepatan dengan pesan Rasulullah saw: “sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan obatnya, dan Dia telah menjadikamn bagi setiap penyakit itu penawar, maka kamu semua berobatlah dan janganlah kamu semua berobat dengan benda-benda yang haram” H.R. Abi Darda’ ra.

Para ulama berbeda pendapat tentang obat halal dan obat haram, sebagian mereka berpendapat bahwa apabila seseorang yang sakit dan hanya dapat disembuhkan melalui obat-obat yang mengandung bahan yang diharamkan, adalah boleh. Karena berpegang pada kebutuhan akan obat adalah sama dengan kebutuhan akan makanan yang berhubungan dengan jiwa seseorang sehingga bisa disebut darurat. Namun bagi mereka yang tidak membolehkan dengan kebutuhan makan, sebagaimana dalam hadis nabi, “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan penyembuhan kalian dari apa-apa yang diharamkan untuk kalian”.[8]

Sedangkan menurut al Ghazali, “Bahwa semua hal yang dilarang adalah dibolehkan kecuali dalam keadaan darurat”.[9] Yusuf Qordlowi mensyaratkan tentang bolehnya mengkonsumsi makanan haram sebagai pengobatan yaitu “adanya bahaya yang mengancam jiwa seseorang, tidak ditemukan obat lain yang sama fungsinya serta direkomendasi oleh dokter ahli terutama muslim dan terpercaya”.[10]

Secara umum berobat itu dianjurkan oleh syari`at. Berdasarkan riwayat Abu Darda` ra ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit beserta obatnya, dan Dia telah menetapkan bagi setiap penyakit obatnya, maka janganlah berobat dengan perkara yang haram”. (H.R Abu Dawud No: 3372).

 

C.      Halal dan Haram dalam Bahan Kosmetik

Kosmetik merupakan produk yang unik karena selain memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan mendasar wanita akan kecantikan. Seringkali menjadi sarana bagi konsumen untuk memperjelas identitas dirinya secara sosial dimata masyarakat.Seiring perkembangan zaman, kosmetik seolah menjadi kebutuhan primer bagi sebagian kaum wanita. Penggunaan kosmetik untuk kepentingan berhias hukumnya boleh dengan syarat yaitu bahan yang digunakan adalah halal dan suci, ditujukan untuk kepentingan yang dibolehkan secara syar’i dan tidak membahayakan.

Tumbuh pesatnya konsumen kelas menengah muslim telah mengubah 180 derajat lanskap persaingan industri kosmetik di Tanah Air. Kesadaran akan benefit halal dari konsumen muslim telah menjadikan produsen kosmetik berbondong-bondong menyematkan label halal pada produknya.[11]

Konsumen kelas menengah muslim di Indonesia berubah sangat cepat dan fundamental.Semakinmeningkatnya kemakmuran mereka sebagai akibat keberhasilan pembangunan selama justru mendorong mereka semakin religius dan spiritual. “makin makmur, makin pintar, makin relegius”. Kalimat ini sangat tepat menggambarkan pergeseran itu.

Empat sosok konsumen muslim, yaitu apathist, conformist, rationalist, dan universalist. Berikut penjelasan terkait jenis tersebut:

1.      Apathis

Sosok ini adalah tipe konsumen yang memiliki pengetahuan, wawasan, dan sering kali tingkat kesejahteraan ekonomi yang masih rendah. Konsumen tipe ini umumnya tidak memiliki pemahaman yang cukup mengenai produk-produk berlebel Islam atau menawarkan value proposition yang Islami. Karena itu mereka tak begitu peduli apakah suatu produk bermuatan nilai-nilai ke Islaman ataupun tidak.

 

 

2.      Rationalist

Sosok ini adalah tipe konsumen yang memiliki pengetahuan, open minded, dan wawasan global, tetapi memiliki tingkat kepatuhan pada nilai-nilai Islam yang lebih rendah. bagi mereka label Islam, value proposition syariah atau kehalalan bukanlah menjadi konsideran penting dalam mengambil keputusan pembelian.

3.      Conformist

Sosok ini adalah tipe konsumen muslim yang umumnya sangat taat beribadah dan menerapkan nilai-nilai Islam secara normatif. Untuk mempermudah pengambilan keputusan, mereka memilih produk-produk yang berlabel Islam.

4.      Universalist

Sosok konsumen muslim ini di satu sisi memiliki pengetahuan/wawasan luas, pola pikir global, dan melek teknologi, namun di sisi lain secara teguh menjalankan nilai-nilai Islam secara substantif, bukan normatif. Mereka lebih mau menerima perbedaan dan cenderung menjunjung tinggi nilai-nilai yang bersifat universal. Singkatnya mereka adalah sosok yang toleran, open-mided, dan inkulsif terhadap nilai-nilai di luar Islam.[12]

Halal is My Lifestyle seiring naiknya kesadaran beragama pada konsumen kelas menengah muslim, halal menjadi salah satu faktor pertimbangan penting dalam memutuskan pembelian. Bahkan, sebagian besar mereka menilai bahwa halal telah menjadi gaya hidup. Artinya, halal menjadi hal paling penting saat akan membeli atau menggunakan berbagai produk konsumsi. Kalau tidak halal, maka mereka cenderung akan menolak menggunakannya, kecuali dalam kondisi mudharat sebagaimana dibolehkan oleh ajaran agama.

Yuswohady dalam bukunya, untuk mengecek label halal survei di 6 kotabahwa, label halal merupakan preferensi utama konsumen kelas menengah muslim dalam melakukan keputusan pembelian kosmetik. Kehalalan mengalahkan bentuk keamanan, komposisi bahan kandungan, harga, merek, dan lainnya. Artinya, mereka merasa kepatuhan pada ajaran agama atau benefit halal merupakan yang utama sebelum melihat benefit halalmerupakan yang utama sebelum melihat benefit fungsional dan emosional produk. Mereka semakin sadar pentingnya mengecek status kehalalan sebelum mengonsumsi produk. Ini terlihat dari pernyataan 95% responden yang menilai pentinya mengecek logo halal sebelum menggunakan produk kosmetik.

Kosmetik halal adalah kosmetik mengandung bahan-bahan halal dan diolah dengan cara-cara yang sesuai dengan kaidah-kaidah Islam. Selama ini, konsumen khawatir bahwa kosmetik yang digunakan mengandung bahan-bahan haram seperti penggunaan alkohol atau minyak babi. Bagi konsumen muslim, alkohol dan minyak babi dilarang untuk digunakan dan dikonsumsi. Oleh karena itu, mereka sangat hati-hati menggunakan kosmetik. Dalam surat Al-Baqarah ayat 168 Allah SWT berfirman:

Artinya: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; Karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah:168)

Jaminan kehalalan suatu produk dapat diwujudkan diantaranya dalam bentuk sertifikat halal yang menyertai suatu produk, dengan sertifikat tersebut produsen dapat mencantumkan logo halal pada kemasannya. Masalahnya bagaimana menjamin bahwa sertifikat halaltersebut telah memenuhi kaidah syariah yang ditetapkan dalam penetapan kehalalan suatu produk pangan, dalam hal ini akan berkaitan dengan kompetensi lembaga yang mengeluarkan sertifikat halal. Penetapan kehalalan suatu produk dilakukan oleh suatu lembaga sertifikasi halal dimana lembaga sertifikasi halal ini memiliki komisi fatwa sendiri yang memenuhi persyaratan dan keanggotaan yang ditetapkan oleh MUI.[13]

D.       Pola Makan yang Sehat dan Gizi Seimbang dalam Islam

Makanan merupakan obat untuk merangsang pertumbuhan sel-sel otak, memperbaiki fumgsinya, meningkatkan daya ingat dan konsentrasi. pola makan sehat harus memperhatikan faktor J4A, yaitu jumlah, jenis, jadwal dan jurus masak serta yang terpenting juga adalah aktivitas fisik secara teratur yang membantu proses dari hasil pola makan sehat dengan mengahasilkan bentuk badan yang ideal dan sehat.[14]

Islam sangat hati-hati dalam kesehatan, salah satunya dalam hal makanan dari segi halal haram dan baik. Halal adalah suatu yang dibolehkan secara agama, sedangkan baik adalah sesuatu yang pada dasarnya tidak merusak fisik dan pikiran, dan harus memenuhi syarat dari segi kebersihan. Pernyataan al-Maragi yang dikutip dalam buku Syarfaini, mengatakan bahwa hendaklah manusia mau memikirkan tentang kejadian dirinya dan makanan yang dimakannya. Cara makanan diciptakan dan disediakan untuknya sehingga bisa dijadikan menunjang kelangsung hidupnya. Disamping itu, dapat pula merasakan kelezatan makanan yang menunjang kekuatan tubuhnya.[15]

Pada dasarnya yang telah diketahui bahwa  makanan adalah pemeliharaan kehidupan, semua makhluk hidup yang diciptakan Allah swt. dipermukaan bumi, mutlak memerlukannya. Makanan memberinya kekuatan esensial bagi kehidupannya, meyuplai unsur-unsur yang akan membentuk sel tubuhnya dan memperbaharui yang rusak. Hal itu disebabkan asal  penciptaan manusia adalah dari tanah liat dan debu.[16]

Selain dari itu, makanan adalah bahan dimakan oleh makhluk hidup untuk memberikan energi dan nutrisi. Gizi menurut Islam berasal dari bahasa arab” al-Gizzai” yang artinya makanan dan manfaatnya untuk kesehatan, juga dapat diartikan sari makanan yang bermanfaat untuk kesehatan. Gizi adalah suatu proses organism menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorbsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari organ-organ serta menghasilkan energi.[17]

Mengenai masalah pengaruh gizi terhadap berbagai kalangan, yaitu tidak hanya bagi daya belinya rendah tetapi juga bagi yang daya belinya Tinggi. Mengapa demikian? Sebab, bagi daya belinya rendah, akan mengalami kekurangan gizi. Sedangkan bagi daya belinya tinggi dapat membeli semua jenis makanan, sehingga kebiasaan makanannya sering berlebihan dan tidak sehat. Akibatnya kelompok ini mudah terserang penyakit degenerative seperti darah tinggi, kanker, kencing manis dan kegemukan.

Dalam al-Qur’an memakai tiga kata ketika melarang berlebih-lebihan yaitu “ta‘tadu, tusrifu atau israf, tabzir.

1.      Ta‘tadu adalah berlebih-belihan yang dimaksud kata ini ialah adalah dari aspek hukumnya.

2.      Tusrifu adalah berlebih-lebihan dalam mengkonsumsi makanan, maksudnya melebihi porsi penyimpanan yang ada pada lambung (kekenyangan). Hal demikian tidak sesuai dengan ilmu kesehatan (1/3 makan, 1/3 minum, dan 1/3 nafas) dan akan berdampak jelek (menimbulkan penyakit) pada tubuh dan otak (bias membuat otak menjadi tumpul.

3.      Tabzir adalah berlebihan-lebihan dalam mengambil makanan akan tetapi tidak mampu menghabisinya sehingga dibuang begitu saja. Hal demikian sangat berbahaya pada sifat dan rohani (lalai dan sombong).[18]

Dalam pengkajian ini, menggunakan kata Tusrifu yaitu Islam melarang berlebih-lebihan dalam hal makanan, makan bukan karena lapar hingga kekenyangan, namun Islam menegaskan kepada orang muslim untuk menjaga etika ketika makan. Dalam pandangan sains, makan secara berlebihan hingga memenuhi volume maksimal lambung memang tidak baik, karena jika lambung yang berfungsi untuk mencerna karbohidrat tidak bisa bekerja secara maksimal, makanan yang dimakan menjadi sia-sia. Jadi, makan yang baik memang secukupnya saja, namun dengan nutrisi yang lengkap.[19]

Dengan pengetahuan yang benar mengenai gizi  maka orang akan tahu dan berupaya untuk mengatur pola makannya sedemikian rupa sehingga seimbang, yaitu tidak berkekurangan dan tidak berlebihan, dengan memanfaatkan bahan pangan setempat yang ada. Jadi, masalah gizi yang timbul–apakah itu kurang gizi atau lebih sebenarnya disebabkan oleh perilaku seseorang yang salah, yakni tidak adanya keseimbangan antara konsumsi gizi dan kecukupan gizi yang diperlukan tubuhnya.[20] Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan kepada kita bahwa perut bukanlah wadah yang siap diisi apa saja sesuai keinginan kita. Sekalipun ia diisi, tidak boleh berlebihan sehingga melebihi batas kemampuannya, sebagaimana dalam hadits, “Keturunan Adam tidak dianggap menjadikan perutnya sebagai wadah yang buruk jika memenuhinya dengan beberapa suap yang dapat menegakkan tubuhnya. Karena itu, apa yang dia harus lakukan adalah sepertiga perutnya untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga lagi untuk napas.” (HR Ahmad).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

A.      Kesimpulan

Prinsip pertama pertama yang ditetapkan Islam, ialah: bahwa asal sesuatu yang dicipta Allah adalah halal dan mubah. Tidak ada satupun yang haram, kecuali karena ada nas yang sah dan tegas dari syari' (yang berwenang membuat hukum itu sendiri, yaitu Allah dan Rasul) yang mengharamkannya. Halal adalah segala sesuatu yang diperbolehkan oleh syari’at untuk di konsumsi, Terutama dalam hal makanan dan minuman.

Obat-obatan dikatakan halal jikalau memenuhi persyaratan srbagai berikut. Pertama tidak mengandung bahan dari hewan yang tidak halal atau tidak disembelih secara syar`I, kedua tidak mengandung bahan yang dihukum sebagi najis menurut syari`at, ketiga aman untuk diambil, tidak beracun, tidak merusak atau memabukkan dan tidak membahayakan kesehatan dan terakhir adalah tidak disedia, diproses atau diproduksi menggunakan peralatan yang tercemar najis berdasarkan hukum syari`at.

Kosmetik halal adalah kosmetik mengandung bahan-bahan halal dan diolah dengan cara-cara yang sesuai dengan kaidah-kaidah Islam. Jaminan kehalalan suatu produk dapat diwujudkan diantaranya dalam bentuk sertifikat halal yang menyertai suatu produk, dengan sertifikat tersebut produsen dapat mencantumkan logo halal pada kemasannya. Dan untuk pola makan yang sehat dapat berupa  makan dengan porsi sepertiga perutnya untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga lagi untuk napas dengan memperhatikan keseimbangan gizi, yaitu kebutuhan yang dibutuhkan oleh tubuh untuk melakukan kerjanya secara proporsional.

B.       Saran

Kritik serta saran yang membangun sangatlah diharapkan guna menyempurnakan makalah ini menjadi lebih baik.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Ahmad, Wahid. 2003. Halal Dan Haram Dalam Islam. Surakarta: Era Intermedia.

Al-Asyhar, Thobieb dan Zubaidi, A. 2002. Bahaya Makanan Haram. Jakarta: Al-Mawardi Irama.

Anief, M. 1991. Apa Yng Perlu Diketahui Tentang Obat. Yogyakarta: Gajah Mada.

Apriyantono, Anton dan Nurbowo. 2003. Panduan Belanja dan Konsumsi Halal. Jakarta: Khairul Bayaan.

Djakfar, Muhammad. 2007. Agama, Etika, dan ekonomi wacana menuju pengembangan ekonomi rabbaniyah. Malang: UIN-Press.

Djakfar, Muhammad. 2009. Hukum Bisnis. Malang: UIN Malang Press.

Mahram, Jamaluddin dan Mubasyir, Hafna, Azim, Abdul. 2005. Al-Qur’an Bertutur Tentang Makanan dan Obat-obatan. Yogyakarta: Mitra Pustaka.

Maslehuddin, M. 1985. Islamic Yurisprudence And The Rule Of Necessety And Need, terj. A. Tafsir. Bandung: Pustaka.

Qordlowi, Yusuf. 2003. Halal Wa Haram Fil Islam. Surakarta: Era Intermedia.

Syamsul, K. A. dkk. 2012. Fikih Kedokteran. Malaysia: PTS Millennia.

Syarfaini. 2012. Dasar dasar Ilmu Gizi. Makassar: Alauddin University Press.

Yuswohady, dkk. 2015. Marketing To The Middle Class Muslim Cetakan Kedua. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

 

 

 

 

 

 

 

LAMPIRAN

 

 

 

 

 

 



[1] Prof. Dr.H. Muhammad Djakfar,.S.H.,M. Ag, Hukum Bisnis, (UIN Malang Press, 2009) hlm. 194

[2] H. Muhammad Djakfar, Agama, Etika, dan ekonomi wacana menuju pengembangan ekonomi rabbaniyah, (malang: UIN-Press, 2007), hlm. 148-149

[3]Thobieb Al-Asyhar dan A. Zubaidi, Bahaya Makanan Haram, (Jakarta: Al-Mawardi Irama, 2002), hlm. 37

[4] M. Anief, Apa Yng Perlu Diketahui Tentang Obat, (Yogyakarta: Gajah Mada, 1991), hlm. 3.

[5] Thobieb Al-Asyhar dan A. Zubaidi, Bahaya Makanan Haram, (Jakarta: Al-Mawardi Irama, 2002), hlm. 38

[6] Ibid., hlm. 39.

[7] KA.Syamsul dkk, Fikih Kedokteran  (Malaysia: PTS Millennia, 2012)

[8] Wahid Ahmad, Halal Dan Haram Dalam Islam, (Surakarta: Era Intermedia, cet III, 2003), hlm. 84

[9] M. Maslehuddin, Islamic Yurisprudence And The Rule Of Necessety And Need, terj. A. Tafsir (Bandung: Pustaka, cet I, 1985), hlm. 54.

[10] Yusuf Qordlowi, Halal Wa Haram Fil Islam (Surakarta: Era Intermedia, cet III, 2003), hlm. 84

[11] Yuswohady dkk, Marketing To The Middle Class Muslim Cetakan Kedua, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2015), hal 71.

[12] Ibid.,hlm. 13-16

[13] Anton Apriyantono dan Nurbowo, Panduan Belanja dan Konsumsi Halal, Jakarta: Khairul Bayaan, 2003, hlm. 5.

[14] Hanjaya Siaputra, dkk., “Pola Perilaku Hidup Sehat Pra Lansia Dalam Mengkonsumsi Makanan Sehari-hari di Maureen Studio”, Universitas Kristen Petra, (t.th): hlm. 131.

[15] Syarfaini, Dasar dasar Ilmu Gizi, (Cet. I; Makassar: Alauddin University Press, 2012), h. 88

[16] Jamaluddin Mahram dan ‘Abdul ‘Azim Hafna Mubasyir, Al-Qur’an Bertutur Tentang Makanan dan Obat-obatan (Cet. I; Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2005), h. 200.

[17] Syarfaini, Dasar dasar Ilmu Gizi, h. 26

[18] Abdul Mutakabbir, Makanan Sehat Dalam Al-Qur’an (Kajian Tahlili terhadap QS. Al-Baqarah/2:61), Skripsi (2015), h. 106.

[19] Syarfaini, Dasar dasar Ilmu Gizi, h. 90

[20] Eko Budi Minarno dan Liliek Hariani, Gizi dan Keshatan: Perspektif al-Qur’an dan Sains, h. 213-214.

0 comments:

Post a Comment