Makalah Akhlak Tasawuf
“AKHLAK
MAZMUMAH”
JURUSAN TADRIS IPA BIOLOGI
FAKULTAS
TARBIYAH DAN KEGURUAN (FTK)
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI (UIN)
MATARAM
2019
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur
atas ke hadirat Allah yang Maha Esa yang karena limpahan nikmat serta hidayah-Nya
kepada kita semua terlebih penyusun sehingga akhirnya Makalah Akhlak Tasawuf
ini dapat terselesaikan. Kedua kalinya sholawat serta salam kepada Nabi kita
tercinta Muhammad shallallah alaihi wasallam yang dengan perjuangan, kerja
keras serta semangat beliau akhirnya kita dapat merasakan manisnya Islam.
Makalah Akhlak Tasawuf
ini telah kami susun semaksimal mungkin, dan kami haturkan banyak terima kasih
kepada para dosen, terutama untuk dosen pengampu mata kuliah Akhlak Tasawuf
bapak Lukman Taufik, M. Pdi. serta pihak-pihak terkait dan rekan-rekan sekalian
atas segala bimbingan dan pengajaran serta bantuannya sehingga dapat lebih
mempermudah dalam penyusunannya. Kritik serta saran yang membangun sangat kami
harapkan guna mempermudah kami dalam menyempurnakan makalah ini.
Penyusun mengharapkan
semoga nantinya makalah Akhlak Tasawuf ini dapat diambil hikmah serta
memberikan mamfaat bagi generasi bangsa kedepannya guna menciptakan kemajuan
serta kedamaian di negeri kita tercinta Indonesia.
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar
Belakang 1
B. Rumusan
Masalah 2
C. Tujuan 2
BAB
II PEMBAHASAN 3
A. Pengertian
Akhlak Mazmumah 3
B. Macam-macam
Akhlak Mazmumah 5
C. Dampak
Negatif Akhlak Mazmumah 9
BAB III PENUTUP 12
A. Kesimpulan 12
B. Saran
12
DAFTAR
PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Akhlak
mazmumah merupakan gabungan dari dua jenis kata yakni akhlak dan mazmumah.
Dimana akhlak secara harfiah memiliki arti perangai sedangkan mazmumah berarti
jelek. Secara terminology akhlak mazmumah berarti perangai yang buruk. Dimana
perangai ini hendaknya dihindari karenanya menimbulkan sesuatu yang buruk bagi
untuk diri sendiri maupun lingkungan social. Diantara jenis dari akhlak
mazmumah sendiri adalah bohong, khianat, hasad, namimah serta masih banyak
lagi.
Pada
zaman sekarang penyakit social pada masyarakat merupakan rentetan dari serangkaian
akhlak mazmumah yang ada pada diri mereka. Yang menyebabkan mereka menjadi
sampah bagi masyarakat. Kasus premanisme, korupsi, prostitusi berakar dari
akhlak mazmumah. Oleh karenanya pemerintah kemudian membuat kebijakan dengan
perubahan kurikulum dari yang menitik beratkan pada pembentukan kecerdasan
kognitif diubah menjadi lebih universal atau penitik beratan pada segala aspek
ilmu pengetahuan, baik kognitif, psikomotorik dan afektif.
Diharapkan dengan adanya makalah
ini, penyusun dapat lebih mengetahui terkait dengan akhlak mazmumah serta
kiat-kiat untuk menghindarinya. Kemudian penyusun juga berharap dapat ikut
mengambil andil dalam melaksanakan UUD 1945 mengenai bagaimana caranya agar
dapat menciptakan generasi penerus bangsa yang cerdas dan bermartabat. Sehingga
nantinya tercipta kondisi negara yang aman, maju dan sejahtera.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apakah yang dimaksud dengan akhlak mazmumah?
2.
Apa saja jenis-jenis dari akhlak mazmumah?
3.
Bagaimana dampak akhlak mazmumah bagi kehidupan manusia?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian dari akhlak mazmumah.
2.
Untuk mengetahui jenis-jenis dari akhlak mazmumah.
3.
Untuk mengetahui dampak akhlak mazmumah bagi kehidupan manusia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Akhlak Mazmumah (Tercela)
Menurut
bahasa, akhlak merupakan tingkah laku, perbuatan, tabiat atau perangai.
Sedangkan akhlak menurut istilah merupakan suatu pengetahuan yang menjelaskan
mengenai perbuatan yang baik serta buruk, mengatur perilaku manusia, serta
mampu menentukan perbuatan akhir. Akhlak
buruk atau tercela merupakan suatu sikap atau perbuatan jelek yang dilarang
oleh agama. Karena pada dasarnya agama mengajarkan kita untuk selalu bersikap
baik terutama menjaga perilaku serta perbuatan yang akan kita lakukan. Dengan
berlandaskan agama, maka sikap tercela ini sebenarnya bisa dicegah karena
ancaman serta sangsi yang akan didapatkan dalam waktu cepat maupun di kehidupan
selanjutnya.
Segala
bentuk akhlak yang bertentangan dengan akhlak mahmudah disebut akhak madzmumah.
Akhlak madzumah juga merupakan
tingkah laku yang tercela yang dapat merusak keimanan seseorang dan menjatuhkan
martabatnya sebagai manusia. Bentuk-bentuk akhlak madzmumah ini bisa berkaitan dengan Allah SWT., Rasulullah,
dirinya, keluarganya, masyarakat, dan alam sekitarnya.
Akhlak
madzmumah ialah perangai atau tingkah
laku yang tercermin pada diri manusia yang cenderung melekat dalam bentuk yang
tidak menyenangkan orang lain. Dalam beberapa kamus dan ensiklopedia dihimpun
pengertian “buruk” sebagai berikut:
1.
Rusak atau tidak baik, jahat, tidak
menyenangkan, tidak elok, jelek.
2.
Perbuatan yang tidak sopan, kurang ajar,
jahat, tidak menyenangkan.
3.
Segala yang tercela, lawan baik, lawan
pantas, lawan bagus, perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma atau agama,
adat istiadat, dan masyarakat yang berlaku.
Akhlakul madzmumah merupakan tingkah
laku kejahatan, kriminal, perampasan hak. Akhlak secara fitrah manusia adalah
baik, namun dapat berubah menjadi akhlak buruk apabila manusia itu lahir dari
keluarga yang tabiatnya kurang baik, lingkungannya buruk, pendidikan tidak baik
dan kebiasaan-kebiasaan tidak baik sehingga menghasilkan akhlak yang buruk.
B.
Macam-macam
Akhlak Mazmumah
Di dalam
kehidupan ini banyak sekali kita menjumpai perilaku tercela, namun kita akan
membahas sebagian dari perilaku tercela tersebut:
1.
Hasad
Menurut sebagian besar ulama, hasad (dengki atau iri hati)
merupakan akar dari semua penyakit hati. Karena sifat ini merupakan manifestasi
dosa pertama serta penyebab ketidakpatuhan terhadap Allah SWT. Sebagaimana sifat setan yang tidak mau
mematuhi perintah Allah untuk memberi hormat kepada Nabi Adam AS. karena ia
merasa iri hati terhadap Nabi Adam yang dipilih Allah untuk menjadi wakil-Nya
di bumi. Oleh karena itu, setan selalu menebarkan (hasid atau hasud) rasa iri
hati dalam diri manusia agar menyandang sifat yang sama dengannya.[1]Pada
dasarnya hasad merupakan akibat dari
dendam dan dendam merupakan akibat dari kemarahan dan kebencian terhadap apa
yang dilihatnya (tentang kondisi kebaikan keadaan yang dicemburui).
Pada hakikatnya hasad adalah
membenci kenikmatan Allah kepada saudaranya, akan tetapi tentang hasad
ini dibedakan menjadi dua jenis. Pertama, membenci kenikmatan yang diberikan
Allah kepada saudaranya dan ia menginginkan kenikmatan itu hilang darinya. Ini
merupakan hasad yang paling tercela. Kedua, seseorang yang membenci kenikmatan
yang Allah bagi kepada saudaranya dan tidak ada keinginan nikmat itu hilang
darinya, tetapi ia menginginkan sebagaimana yang ada pada saudaranya. Hal
semacam ini disebut ghitbah.[2]
Terkadang untuk hasad jenis kedua ini disebut dengan al-munafasah
(berlomba), berlomba dalam permasalahan yang disenangi untuk mendapatkan dan
memilikinya. Akan tetapi, munafasah ini tidak mutlak tercela, bahkan terpuji
bila dalam kebaikan.[3]
Adapun berharap agar Allah memberikan kenikmatan seperti itu kepadanya tidaklah
tercela jika dalam urusan agama. Dalam
kitab Durratun Nasihin disebutkan bahwa bahaya yang ditimbulkan dari rasa
dengki atau hasad ini ada 8 macam, yaitu
:
a.
Merusak ketaatan.
b.
Menjuruskan kepada perbuatan maksiat, karena hasad tidak lepas dari
bohong, caci maki, fitnah, dan ghibah.
c.
Meniadakan syafaat.
d.
Masuk ke dalam neraka.
e.
Menyebabkan suka menggoda/mengganggu orang lain.
f.
Mengakibatkan rasa letih dan takut yang tidak ada gunanya, bahkan
selalu dibarengi dengan perbuatan dosa dan maksiat.
g.
Menyebabkan buta hati, dimana ia tidak dapat menerima dan memahami
hukum-hukum Allah yang baik h. Menyebabkan kegagalan yang pada akhirnya tidak
bisa mencapai apa yang menjadi maksudnya dan selalu dikalahkan oleh lawannya.[4]
Menurut Imam
Mawlud sebagaimana yang dikutip oleh Hamza Yusuf, ada beberapa cara untuk
mengobati penyakit iri hati, yaitu :
a.
Melawan hawa nafsu yang dapat menerima seseorang dari kebenaran
dengan cara melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi objek iri hati.
b.
Menyadari dengan sungguh-sungguh bahwa iri hati tidak akan pernah
memberikan manffat bagi pelakunya.
c.
Menyadari bahwa apa yang seseorang peroleh sesungguhnya dari Allah
dan juga akan kembali kepada-Nya.
d.
Taqwa, memiliki perasaan takut terhadap Allah dan iman yang tinggi
sehingga dapat menjauhkan seseorang terhadap dugaandugaan yang salah atas
ketidaksesuaian karunia.[5]
2.
Riya’
Riya’ itu berasal dari kata ru’yah yang berarti melihat. Menurut
Imam Al-Ghazali, riya’ asalnya mencari kedudukan pada hati manusia dengan
memperlihatkan kepada mereka hal-hal kebaikan. Riya’ merupakan perilaku terkeji
ketika seseorang melakukan ritual ibadahnya hanya untuk memperoleh tempat di
hati orang lain. Sifat seperti ini termasuk salah satu bentuk kesyirikan yang
dibenci oleh Allah SWT. Rasulullah
mengibaratkan perilaku seperti ini sebagai “syirik
kecil” sebagaimana sabda beliau, “Aku tidak khawatir seandainya kalian akan
menyembah matahari, bintang-bintang, bulan. Namun, aku lebih khawatir kalian
beribadah bukan karena Allah, melainkan karena riya’ “[6]
Akar sumber riya’ adalah keinginan, yakni menginginkan sesuatu dari sebuah
sumber selain Allah (yaitu manusia). Misalnya, keinginan yang selalu di puji,
pandangan masyarakat akan kebaikannya, kedudukannya, dan lain-lain. Adapun yang menjadi tanda-tanda riya’ menurut
Imam Mawlud adalah :
a.
Malas dan kurang melakukan sesuatu yang semata-mata karena Allah
SWT. Misalnya, ketika berada dirumah tidak ada rasa keinginan untuk membaca
Alquran, namun ketika banyak orang seperti di masjid ia membaca Alquran dengan
suara yang merdu.
b.
Meningkatkan perilaku-perilaku ketika dipuji dan menurunkannya
ketika tidak ada pujian.[7]
Riya’ biasanya dikenal dengan sikap menampakkan ibadah atau
ketaatan dihadapan orang banyak. Namun, ada juga riya’ yang sifatnya
tersembunyi, yaitu sikap ketika seseorang menghindari riya’ tetapi justru
melakukannya untuk riya’. Misalnya, seseorang sengaja menghindari khalayak agar
tidak disangka riya’. Kemudian ia sengaja berkhalwat dan menyendiri. Namun,
dibalik itu semua, ia justru ingin dilihat dan dipuji orang lain. Disanalah terdapat
riya’ yang tersembunyi.[8]
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa penyakit riya’ dapat
menghancurkan pahala seseorang dan merupakan sebab dari kemurkaan Allah SWT.
Riya’ juga merupakan salah satu perbuatan dosa besar. Oleh karena itu, seseorang
harus berusaha untuk menghilangkan penyakit ini dari dalam hatinya. Cara untuk
menghindari perbuatan seperti ini seseorang yang beriman harus menyadari bahwa
sesungguhnya Allah adalah dzat yang paling layak dipuji. Semestinya kita harus
merasa malu ketika dipuji karena Dia yang menganugerahkan karunia yang besar
sehingga aib seseorang hamba tertutup dan kebaikannya tampak di mata manusia.
Jika saja Allah menampakkan aib tersebut walau hanya kecil saja, maka tidak
akan ada orang yang mau memuji. Sehingga dengan begitu kita dapat memurnikan
dari perburuan yang sia-sia dan riya’.[9]
Adapun cara untuk menyembuhkan penyakit seperti ini dapat dilakukan
dengan dua cara, yaitu :
a.
Melepaskan penyakit riya’ sampai akar-akarnya, yaitu cinta
kedudukan dan jabatan.
b.
Mencegah akibat-akibat buruk yang muncul dari penyakit riya’ ketika
beribadah.[10]
3.
Hubbud Dunya
Hubbud Dunya adalah cinta dunia yang berlebihan, merupakan induk
segala kesalahan (maksiat) serta perusak agama. Yaitu mencintai kehidupan dunia
dan melainkan kehidupan akhirat. Penyakit inilah yang menyebabkan seorang
muslim menjadi lemah. Sehingga musuh-musuh dengan leluasa menebar rasa takut
dan sifat pengecut dalam dirinya, syaitan-syaitan (manusia dan jin) dengan
mudah menyesatkannya. Sementara orang-orang kafir dan musuh Islam lainnya
memandangnya dengan sebelah mata.
Mencintai dunia akan mengakibatkan banyak melakukan kesalahan dan
dosa ketika hidup di dunia. Firman Allah SWT dalam surah Al-Hadid ayat 20 yang
artinya :
“Ketahuilah, bahwa
sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan,
perhiasan, dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang
banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan Para
Petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning
kemudian menjadi hancur dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah
serta keridhaan-Nya dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang
menipu.”
Adapun obat untuk
menghindari dari perbuatan Hubbud Dunya, yaitu : Nabi SAW telah memberikan
wasiatnya yang merupakan formula bagi jenis penyakit tersebut. Rasulullah SAW
bersabda : “Abu Hurairah ra. meriwayatkan bahwasanya Rasukullah SAW, bersabda : perbanyaklah oleh kalian mengingat
penghancur segala kelezatan, yaitu kematian.” (H.R. An-Nasaai No. 1824,
Tirmidzi No. 2307 dan Ibnu Majah No. 4258 dan Ahmad)
4.
Sum’ah
Secara bahasa sum’ah adalah diperdengarkan kepada orang lain,
adapun secara istilah yaitu beribadah dengan benar dan ikhlas karena Allah,
kemudian menceritakan amal perbuatannya kepada orang lain.[11]
Adapun sum’ah mempunyai hubungan erat sekali dengan riya’, bahkan tergolong
sama. Akan tetapi terdapat perbedaan antara keduanya. Perbedaan antara riya’
dan sum’ah menurut Al-Hafizh yaitu Riya’ adalah memperlihatkan amal dan
perbuatan dengan maksud mendapatkan pujian seperti shalat, adapun sum’ah
merupakan amalan yang diperdengarkan kemudian menceritakan perbuatannya (sudah
dikerjakan dengan penuh keikhlasan, namun pada akhirnya mengharapkan pujian
yang sifatnya duniawi.
Perbedaan riya’ dan sum’ah adalah pada riya’ berarti beramal karena
diperlihatkan kepada orang lain, sedangkan sum’ah beramal supaya
diperdengarkan
kepada orang lain. Riya’ berkaitan dengan indramata, sedangkan sum’ah berkaitan
dengan indra telinga.[12]
Kata sum’ah berasal dari kata samma’a (memperdengarkan). Kalimat “samma’an
naasa bi’amalihi” digunakan jika seseorang menampakkan amalnya kepada manusia
yang semula tidak mengetahuinya.[13]
Dalam Alquran Allah mengingatkan kepada kita mengenai sifat sum’ah dan riya’
ini dalam Q.S. Al-Baqarah : 264 yang artinya :
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala)
sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan
menyakiti (perasaan si penerima),
seperti orang yang menafkahkan hartanya
karena riya’ kepada manusia.”
5.
Ujub
Ujub merupakan sifat tercela dimana seseorang membanggakan diri
sendiri karena merasa memiliki kelebihan tertentu yang tidak dimiliki oleh
orang lain. Seperti ujubnya orang alim yang merasa dirinya telah mencapai
kesempurnaan dalam ilmu, perbuatan, dan akhlak. Orang yang menyandang sifat ini
biasanya ia melupakan bahwa nikmat yang diperoleh adalah dari Allah melainkan
dari usahanya sendiri.[14]
Sifat ujub selalu diikuti dengan idlal (mengharap balasan). Oleh
karena itu, setiap orang yang melakukan idlal pasti ia memiliki sifat ujub.
Akan tetapi, tidak semua orang yang ujub melakukan idlal. Orang yang memiliki
sifat ini sangat dibenci oleh Allah SWT, sebagaimana firmanNya Q.S Al-Mudassir
ayat 6 yang artinya :
“Dan janganlah engkau (Muhammad) memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.”
Ujub membawa pengaruh negatif yang sangat banyak, ia dapat
menghantarkan ke arah kesombongan. Di hadapan Allah, orang yang memiliki sifat
ujub menyebabkan ia menjadi lupa dan meremehkan dosadosanya karena merasa telah
melakukan ibadah yang sempurna sehingga beranggapan dosa yang dilakukan tidak
ada apa-apanya dengan ibadah yang telah dilakukan.
Ujub dapat mengakibatkan seseorang lupa bahwa nikmat yang ia
peroleh berasal dari Allah sehingga menjadikannya kufur nikmat.[15]
Adapun untuk mengobati penyakit ujub
seseorang harus menyadari bahwa kenikmatan yang ia peroleh adalah dari Allah
yang merupakan buah dari cinta dan ibadah bukan karena ia berhak menerimanya
dan Allah wajib melakukannya. Kemudian, cara yang lainnya harus selalu
menanamkan ketakutan akan hilangnya nikmat itu akibat tindakan ujub yang
dilakukan.[16]
C.
Dampak Negatif
Akhlak Mazmumah
Dampak negative yang dapat ditimbulkan
oleh pelaku dari orang yang memiliki akhlak mazmumah, diantaranya dapat
menimbulkan kerugian bagi dirinya, keluarganya serta masyarakat tempatnya
tinggal. Bagi dirinya sendiri:
1.
Hatinya tidak tenang karena telah melakukan perbuatan buruk
2.
Disempitkan rezekinya
3.
Dikucilkan dari kehidupan social
4.
Hidupnya selalu diliputi dengan kepelikan
Bagi
keluarganya:
1.
Mencemari nama keluarga.
2.
Keturunannya menjadi jelek.
3.
Keberkahan dalam keluarganya menjadi kurang.
4.
Keluarganya selalu dalam keresahan.
5.
Keluarganya malu akan perilakunya.
Bagi
masyarakat:
1.
Mencemari nama baik tempat yang ditinggalinya.
2.
Menimbulkan keresahan di lingkungan sekitar.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Akhlak merupakan tingkah
laku, tabiat, atau perangai. Sedangkan akhlak menurut istilah merupakan suati
pengetahuan yang menjelaskan mengenai perbuatan yang baik serta buruk, mengatur
perilaku manusia, serta mampu menentukan perbuatan akhir. Segala
bentuk akhlak yang bertentangan dengan akhlak mahmudah disebut akhak madzmumah.
Akhlak madzumah juga merupakan
tingkah laku yang tercela yang dapat merusak keimanan seseorang dan menjatuhkan
martabatnya sebagai manusia.
Macam-macam dari akhlak
mazmumah ada banyak sekali, seperti hasad, riya’, hubbud dunya, sum’ah, ujub,
takabur, itbaul hawa, ghibah, dan masih banyak lagi. Akhlak tercela diatas
merupakan suatu sikap jelek yang merugikan diri sendiri dan orang lain yang
dilakukan jauh dari apa yang dilarang agama dan tidak diridhoi oleh Allah SWT.
Seseorang yang melakukan akhlak tercela akan mendapat kesulitan baik di dunia
maupun di akhirat.
Dapak negative dari
pelaku akhlak mazmumah sangatlah beragam diantaranya dikucilkan oleh
masyarakat, hidupnya tidak berkah, selalu dala keadaan tidak tenang, rezekinya
dipersempit serta kehidupan keluarganya menjadi tidak tentram. Dampak lainnya
kehidupan masyarakat menjadi kurang makmur.
B.
Saran
Saran
yang membangun dari para pembaca sangatlah kami harapkan guna membantu dalam
penyempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Yusuf, Hamzah.
2009. Hatiku Surgaku: Terapi Jitu Membersihkan Hati dari
Sifat-sifat yang Tidak Disukai Allah. Jakarta: Lentera Hati.
Al-Ghazali, M.
Hamid, Abu. Mutiara Ihya’ Ulumuddin:
Ringkasan Yang Ditulis Sendiri oleh Sang Hujjatul Islam; Terjemahan Irwan Kurniawan. Bandung: Mizan.
Masykur, Anis.
2002. Risalah Tasawuf Ibnu Taimiyah:
Terjemahan Majmu’ Fatwa Syaikh
Al-Islam Ahmad Ibnu Taimiyah Jilid 10 tentang Kitab Ilm Al-Suluk. Jakarta:
Hikmah.
Usman Asy Syakir
Al-Khaubawiyyi. Durratun Nasihin: Butir-butir Mutiara Hikmat; Alih bahsa
oleh Rosilin Abd. Gani. Semarang: Wicaksana.
Sati,
pakih. 2013. Syarah Al-Hikam: Kalimat-kalimat Menakjubkan Ibnu ‘Atha’illah
dan Tafsir serta Motivasinya. Jogjakarta: Diva Press.
Hawwa,
Sa’id. 2006. Tazkiyatun Nafs: Intisari Ihya’ Ulumuddin; Terjemahan Tim
Kuwais. Jakarta: Pena Pundi Aksara.
LAMPIRAN
[1] Hamza Yusuf, Hatiku Surgaku: Terapi Jitu
Membersihkan Hati dari Sifat-sifat yang Tidak Disukai Allah, (Jakarta :
Lentera Hati, 2009 ), hlm. 51-52
[2] Abu Hamid M. Al-Ghazali, Mutiara Ihya’ Ulumuddin : Ringkasan Yang
Ditulis Sendiri oleh Sang Hujjatul Islam; Terjemahan Irwan Kurniawan, (Bandung : Mizan, 2008 ), hlm.
265
[3] Anis Masykur, Risalah Tasawuf Ibnu Taimiyah : Terjemahan Majmu’ Fatwa Syaikh
Al-Islam Ahmad Ibnu Taimiyah Jilid 10 tentang Kitab Ilm Al-Suluk, (Jakarta :
Hikmah, 2002), hlm. 132
[4] Usman Asy Syakir Al-Khaubawiyyi,
Durratun Nasihin : Butir-butir Mutiara
Hikmat; Alih bahsa oleh Rosilin Abd. Gani, (Semarang : Wicaksana), hlm.
162-164
[5] Hamza Yusuf, Hatiku Surgaku : Terapi Jitu Membersihkan Hati dari
Sifat-sifat yang Tidak Disukai Allah, (Jakarta : Lentera Hati, 2009), hlm.
57-62
[6] Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, Mutiara Ihya’ Ulumuddin : Ringkasan yang Ditulis Sendiri oleh Sang
Hujjatul Islam; Terjemahan Irwan Kurniawan, (Bandung : Mizan, 2008), hlm.
294-301
[7] Hamza Yusuf, Hatiku Surgaku : Terapi Jitu
Mmebersihkan Hati dari Sifat-sifat yang tidak Disukai Allah, (Jakarta :
Lentera Hati, 2009), hlm. 84-85
[8] Pakih Sati, Syarah Al-Hikam :
Kalimat-kalimat Menakjubkan Ibnu ‘Atha’illah dan Tafsir serta Motivasinya,
(Jogjakarta : Diva Press, 2013 ), hlm.
308
[9] Pakih Sati, Syarah Al-Hikam : Kalimat-kalimat
Menakjubkan Ibnu ‘Atha’illah dan Tafsir serta Motivasinya, (Jogjakarta :
Diva Press, 2013 ), hlm. 276
[10] Sa’id Hawwa, Tazkiyatun Nafs : Intisari
Ihya’ Ulumuddin; Terjemahan Tim Kuwais, (Jakarta : Pena Pundi Aksara,
2006), hlm. 209
[11] Syeikh Ahmad Rifa’i; Riayah Akhir, Bab Tasawuf, Juz 2,
korasan 23 halaman 2 baris 3
[12] Dr. Sulaiman Al-Asyqor, Al-Ikhlas, halaman 95
[13] Kitab Lisanul Arab, 8/165
[14] Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, Mutiara Ihya’ Ulumuddin : Ringkasan yang
ditulis Sendiri oleh Sang Hujjatul Islam; Terjemahan Irwan Kurniawan, (Bandung
: Mizan, 2008), hlm. 308
[15] Sa’id Hawa, Tazkiyatun Nafs : Intisari
Ihya’ Ulumuddin; Terjemahan Tim Kuwais, (Jakarta : Pena Pundi Aksara,
2006), hlm. 232-235
[16] Sa’id Hawa, Tazkiyatun Nafs : Intisari
Ihya’ Ulumuddin; Terjemahan Tim Kuwais, (Jakarta : Pena Pundi Aksara,
2006), hlm. 236
0 comments:
Post a Comment