Makalah
Desai Pembelajaran
“ANALISIS
KEBUTUHAN PEMBELAJARAN”
Dosen
Pengampu: Neneng Agustiningsih, M.Pd
JURUSAN TADRIS IPA BIOLOGI
FAKULTAS
TARBIYAH DAN KEGURUAN (FTK)
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI (UIN)
MATARAM
2020
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur
atas ke hadirat Allah yang Maha Esa yang karena limpahan nikmat serta hidayah-Nya
kepada kita semua terlebih penyusun sehingga akhirnya Makalah Studi Islam ini
dapat terselesaikan. Kedua kalinya sholawat serta salam kepada Nabi kita
tercinta Muhammad shallallah alaihi wasallam yang dengan perjuangan, kerja
keras serta semangat beliau akhirnya kita dapat merasakan manisnya Islam.
Makalah desain
pembelajaran ini telah kami susun semaksimal mungkin, dan kami haturkan banyak
terima kasih kepada para dosen, terutama untuk dosen pengampu mata kuliah
Desain Pembelajaran Ibuk Neneng Agustiningsih, M. Pd. serta pihak-pihak terkait
dan rekan-rekan sekalian atas segala bimbingan dan pengajaran serta bantuannya
sehingga dapat lebih mempermudah dalam penyusunannya. Kritik serta saran yang
membangun sangat kami harapkan guna mempermudah kami dalam menyempurnakan
makalah ini.
Penyusun mengharapkan
semoga nantinya makalah Desain Pembelajaran ini dapat diambil hikmah serta
memberikan mamfaat bagi generasi bangsa kedepannya guna menciptakan kemajuan
serta kedamaian di negeri kita tercinta Indonesia.
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar
Belakang 1
B. Rumusan
Masalah 1
C. Tujuan 1
BAB
II PEMBAHASAN 2
A. Pengertian Kebutuhan Pembelajaran 2
B. Macam- macam Kebutuhan pembelajaran 3
C. Tahap- tahap Pembelajaran 9
D. Analisis
Kebutuhan Pembelajaran 13
BAB III PENUTUP 14
A. Kesimpulan 14
B. Saran
14
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Belajar adalah serangkaian kegiatan fisik dan
psikis seoseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil
dari pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut
kognitif, afektif dan psikomotor. Belajar memegang peranan penting dalam
pembelajaran, karena dalam pembelajaran terdapat peristiwa belajar dan
peristiwa mengajar.
Belajar adalah aktivitas psychofisik yang ditimbulkan karena adanya aktivitas dan interaksi
pembelajaran. Mengajar merupakan tugas utama seorang guru. Seorang guru yang
kreatif akan selalu berupaya menciptakan ide-ide dalam merancang sistem
pembelajaran yang mampu menghantarkan keberhasilan peserta didik dalam mencapai
tujuan pembelajaran.
Tujuan
manusia belajar tentunya adalah untuk menjadi lebih baik, sehingga kelak ilmu
yang mereka peroleh melalui proses belajar dan mengajar dapat diterapkan dalam
kehidupannya. Demi mencapai tujuan tersebut, maka sebelum memulai proses
belajar seoarng pendidik perlu mengadakan identifikasi terlebih dahulu terhadap
kebutuhan masing-masing peserta didiknya, baik itu secara individual ataupun
kelompok, agar apa yang disampaikan oleh pendidik dalam proses pembelajaran
dapat diterima dengan baik oleh peserta didiknya serta tercapai tujuan yang
telah direncanakan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kebutuhan ?
2. Ada berapa model kebutuhan belajar ?
3. Bagaimana tahapan kebutuhan belajar ?
4. Bagaimana menganalisis kebutuhan belajar ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian kebutuhan pembelajaran.
2. Untuk mengetahui model kebutuhan pembelajaran.
3. Untuk mengetahui
tahapan pembelajaran.
4. Untuk mengetahui cara menganalisis kebutuhan
pembelajaran.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Kebutuhan Pembelajaran.
Desain pembelajaran dapat dimaknai dari
berbagai sudut pandang, misalnya sebagai disiplin, sebagai ilmu, sebagai
sistem, dan sebagai proses. Sementara itu desain pembelajaran sebagai proses
menurut Syaiful Sagala adalah pengembangan pengajaran secara sistematis yang
digunakan secara khusus dari teori-teori pembelajaran untuk menjamin kualitas
pembelajaran. Pernyataan tersebut mengandung arti bahwa penyusunan perencanaan
pembelajaran harus sesuai dengan konsep pendidikan dan pembelajaran yang dianut
dalam kurikulum yang digunakan.[1]
Shambaugh dalam Wina Sanjaya, menjelaskan
tentang desain pembelajaran sebagai berikut. An intellectual process to help teachers systematically learners needs
and construct structures possibilities to responsively addres those needs.
(Sebuah proses intelektual untuk membantu pendidik dalam menganalisis kebutuhan
peserta didik dan membangun berbagai kemungkinan untuk merespon kebutuhan
tersebut).[2]
Kebutuhan
adalah segala sesuatu yang diperlukan oleh manusia untuk kehidupannya, demi
mencapai suatu hasil (tujuan) yang lebih baik. Belajar adalah suatu proses
perubahan kearah yang lebih baik, yang mengubah seseorang yang tidak tahu
menjadi tahu, yang tidak baik menjadi baik, yang tidak pantas menjadi pantas,
dll. Kebutuhan belajar pada dasarnya menggambarkan jarak antara tujuan belajar
yang diinginkan dan kondisi yang sebenarnya. Jadi pengertian Identifikasi
kebutuhan belajar adalah kegiatan atau usaha yang dilakukan untuk meneliti dan
menemukan hal-hal yang diperlukan dalam belajar dan hal-hal yang dapat membantu
tercapainya tujuan belajar itu sendiri, baik itu proses belajar yang
berlangsung di lingkungan keluarga (informal), sekolah (formal), maupun
masyarakat (non-formal). Pada tahap pengidentifikasian kebutuhan belajar ini,
sebaiknya guru melibatkan peserta didik untuk mengenali, menyatakan dan
merumuskan kebutuhan belajar, sumber-sumber yang tersedia dan hambatan yang
mungkin dihadapi dalam kegiatan pembelajaran untuk memenuhi kebutuhan belajar.
Identifikasi kebutuhan belajar bertujuan antara lain untuk melibatkan dan
memotivasi peserta didik agar kegiatan belajar dirasakan sebagai bagian dari
kehidupan dan mereka merasa memilikinya. Hal ini dapat dilakukan sebagai
berikut:
a.
Peserta didik didorong untuk menyatakan
kebutuhan belajar berupa kompetensi tertentu yang ingin mereka miliki dan
diperoleh melalui kegiatan pembelajaran.
b. Peserta
didik didorong untuk mengenali dan mendayagunakan lingkungan sebagai sumber
belajar untuk memenuhi kebutuhan belajar.
c. Peserta
didik dibantu untuk mengenali dan menyatakan kemungkinan adanya hambatan dalam
upaya memenuhi kebutuhan belajar, baik yang datang dari dalam maupun dari luar.
Kebutuhan belajar itu beragam hingga setiap orang
cenderung memiliki kebutuhan belajar yang berbeda. Dalam satu kelompok yang
memiliki sepuluh orang anggota mungkin akan terdapat lebih dari sepuluh macam
kebutuhan belajar setiap anggotanya anggotanya. Kebutuhan yang dirasakan oleh
seseorangpun mungkin akan berbeda apabila ruang dan waktu pun berbeda.
Kebutuhan belajar yang dirasakan oleh seseorang yang berada didaerah pedesaan
mungkin akan berbeda dengan kebutuhan belajar yang dirasakan apabila orang
tersebut tinggal di kota. Kebutuhan belajar yang dirasakan tahun lalu mungkin
akan berbeda pula dengan kebutuhan belajar yang akan dirasakan pada tahun
mendatang.
Apabila suatu kebutuhan belajar telah terpenuhi, akan
muncul kebutuhan belajar lainnya yang harus dipenuhi melalui kegiatan belajar.
Kebutuhan belajar perlu diidentifikasi melalui pendekatan perorangan.
Identifikasi ini dilakukan dengan menggunakan instrumen yang cocok sehingga
dapat mengungkap informasi yang dinyatakan oleh setiap individu yang merasakan
kebutuhan belajar. Instrumen itu antara lain adalah wawancara, angket, dan
kartu atau dokumen. Kebutuhan belajar yang dirasakan sama oleh setiap individu
dalam suatu kelompok disebut kebutuhan belajar kelompok. Kebutuhan belajar
kelompok ini pada umumnya daat dipenuhi melalui kegiatan belajar bersama atau
kegiatan belajar kelompok. Wadah kegiatan belajar bersama dalam suatu kelompok
itu disebut kelompok belajar. Kelompok belajar bertujuan untuk terjadinya
proses belajar yang didasarkan atas kebutuhan belajar yang telah diidentifikasi
sebelumnya. Dengan kata lain bahwa hasil identifikasi kebutuhan bahan belajar
itu dijadikan bahan masukan dalam penyusunan kurikulum atau program belajar. Kurikulum
ini dapat meliputi antara lain pengetahuan keterampilan, dan/atau sikap yang
akan dipelajari dalam kelompok belajar. [3]
B. Macam- macam
Kebutuhan pembelajaran.
Analisis
kebutuhan merupakan alat yang konstruktif dan positif untuk melakukan
perubahan. Perubahan yang didasarkan atas logika yang bersifat rasional,
perubahan fungsional yang dapat memenuhi kebutuhan kelompok dan individu.
Metode Need Assessment dibuat untuk bias mengukurtingkat kesenjangan yang
terjadi dalam pembelajaran siswa dari apa yang diharapkan dan apa yang sudah
didapat. Dalam pengukuran kesenjangan seorang analisis harus mampu mengetahui
seberapa besar masalah yang dihadapi.
Ada
enam macam kebutuhan yang biasa digunakan untuk merencanakan dan mengadakan
analisa kebutuhan (Morrison, 2001: 28-30).[4]
1.
Kebutuhan Normatif Membandingkan peserta
didik dengan standar nasional, misal, UAN, SNMPTN, dan sebagainya.
2.
Kebutuhan Komperatif Membandingkan peserta
didik pada satu kelompok dengan kelompok lain yang selevel. Misal, hasil
Ebtanas SLTP A dengan SLTP B.
3.
Kebutuhan Yang Dirasakan Hasrat atau
kinginan yang dimiliki masing-masing peserta didik yang perlu ditingkatkan.
Kebutuhan ini menunjukan kesenjangan antara tingkat ketrampilan/kenyataan yang
nampak dengan yang dirasakan. Cara terbaik untuk mengidentifikasi kebutuhan ini
dengan cara interview.
4.
Kebutuhan Yang Diekspresikan Kebutuhan
yang dirasakan seseorang mampu diekspresikan dalam tindakan. Misal, siswa yang
mendaftar sebuah kursus.
5.
Kebutuhan Masa Depan Mengidentifikasi
perubahan-perubahan yang akan terjadi dimasa mendatang. Misal, penerapan
teknik pembelajaran yang baru, dan sebagainya.
6.
Kebutuhan Insidentil yang mendesak Faktor
negatif yang muncul di luar dugaan yang sangat berpengaruh. Misal, bencana
nuklir, kesalahan medis, bencana alam, dan sebagainya.
Dengan kata lain bahwa hasil
identifikasi kebutuhan bahan belajar itu dijadikan bahan masukan dalam
penyusunan kurikulum atau program belajar. Kurikulum ini dapat meliputi antara
lain pengetahuan keterampilan, dan/atau sikap yang akan dipelajari dalam
kelompok belajar. Kebutuhan belajar dapat disusun kedalam berbagai
golongan. Beberapa pakar pendidikn dan peneliti kebutuhan belajar yang
dikemukakan dibawah ini dibuat oleh Johnstone dan rivera (1965) dalam buku
“Volunteers of Learning” yakni :
a.
Kebutuhan belajar yang berkaitan dengan
tugas pekerjaan
b.
Kebutuhan belajar yang berhubungan dengan
kegemaran dan rekreasi
c.
Kebutuhan belajar yang berkaitan dengan
keagamaan
d.
Kebutuhan belajar yang berhubungan dengan
penguasaan bahasa dan pengetahuan umum
e.
Kebutuhan belajar yang
berkaitan dengan kerumahtanggaan
f.
Kebutuhan belajar yang berkaitan dengan
penampilan diri
g.
Kebutuhan belajar yang berhubungan dengan
pengetahuan peristiwa baru
h.
Kebutuhan belajar yang berhubungan dengan
usaha dibidang pertanian
i.
Kebutuhan belajar yang berkaitan dengan
pelayanan jasa
Model pengukuran kebutuhan belajar merupakan bentuk
pengukuran terhadap hal-hal yang harus ada dan dibutuhkan dalam kegiatan
belajar, yang disajikan oleh pendidik (guru) dan disesuaikan dengan program
pembelajaran yang dilakukan. Terdapat tiga (3) model pengukuran dalam
mengidentifikasi kebutuhan belajar, yaitu model induktif, model deduktif dan
model klasik. [5]
1. Model Induktif
Pendekatan
yang digunakan dalam model Induktif menekankan pada usaha yang dilakukan dari
pihak yang terdekat, langsung, dan bagian-bagian ke arah pihak yang luas, dan
menyeluruh. Oleh karena itu, melalui pendekatan ini diusahakan secara langsung
pada kemampuan yang telah dimiliki setiap peserta didik, kemudian
membandingkannya dengan kemampuan yang diharapkan atau harus dimiliki sesuai
dengan tuntutan yang datang kepada dirinya. Model ini digunakan untuk
mengidentifikasi jenis kebutuhan belajar yang bersifat kebutuhan terasa (felt
needs) atau kebutuhan belajar dalam pendidikan yang dirasakan langsung oleh
peserta didik. Pelaksanaan identifikasinya pun harus dilakukan secara langsung
kepada peserta didik itu sendiri.
Model
Induktif ini memiliki beberapa keuntungan, yaitu: 1). dapat diperoleh informasi
yang langsung, 2). tepat mengenai jenis kebutuhan Peserta didik, sehingga
memudahkan kepada guru (pendidik) untuk memilih materi belajar yang sesuai
dengan kebutuhan tersebut. Namun, kelemahannya pun ada, yaitu; dalam menetapkan
materi pendidikan yang bersifat menyeluruh, dan umum untuk peserta didik yang
banyak dan luas akan membutuhkan waktu, dana, dan tenaga yang banyak. Karena
setiap peserta didik yang mempunyai kecenderungan ingin atau harus belajar
dimintai informasinya mengenai kebutuhan belajar yang mereka inginkan.
Pelaksanaan
pengukuran (assessment) kemampuan yang telah dimiliki calon peserta pelatihan
disesuaikan dengan kondisi calon itu sendiri. Apabila calon sudah bisa membaca
dan menulis, maka identifikasi dapat dilakukan melalui kegiatan pemberian
angket, atau juga bisa melalui wawancara, dengan pokok-pokok pertanyaan
diantaranya (contoh) : Kemampuan apa yang diinginkan untuk dipelajari pada
kesempatan sekarang? atau Ingin belajar apa sekarang? Juga dapat dilakukan melalui
pengajuan daftar isian atau kartu kebutuhan belajar. Calon peserta menjawab dan
mengisi kuesioner pada bagian yang sudah disediakan. Begitu pula, apabila
peserta pelatihan diberi kartu Kebutuhan Belajar, maka peserta pelatihan
(sasaran) tinggal menuliskan jenis kemampuan yang ingin dipelajarinya pada
kartu, yang telah disediakan.
Setelah
memperoleh sejumlah kebutuhan belajar baik dari satu atau beberapa peserta,
maka pendidik perlu menetapkan prioritas kebutuhan belajar. Penetapan prioritas
ini dapat dilakukan pendidik bersama-sama peserta didik atau dilakukannya
sendiri, yang kemudian diinformasikan lebih lanjut kepada peserta yang
didasarkan kepada hasil jenis kebutuhan belajar yang diperoleh. Teknik yang
digunakan untuk penetapan ini dapat dilakukan melalui diskusi, atau curah.
pendapat, atau pasar data. Pengajuan prioritas dari setiap peserta pelatihan
dibarengi dengan alasan-alasannya. Namun demikian, pada akhirnya penetapan
prioritas ini perlu disesuaikan dengan berbagai macam kemungkinan dari segi bahan
belajar, sumber belajar, waktu, serta sarana penunjang lainnya. Apabila
pendidik sudah memperoleh penetapan prioritas, maka pendidik bertugas untuk
mengembangkan materi pembelajaran, serta menyelenggarakan proses belajar.[6]
2. Model Deduktif
Pendekatan
pada model ini dilakukan secara deduktif, dalam, pengertian bahwa identifikasi
kebutuhan pembelajaran dilakukan secara umum, dengan sasaran yang luas. Apabila
akan menetapkan kebutuhan belajar untuk peserta didik yang memiliki
karakteristik yang sama, maka pelaksanaan identifikasinya dilakukan pengajuan
pertimbangan kepada semua peserta didik (sasaran). Hasil identifikasi diduga
dibutuhkan untuk keseluruhan peserta didik (sasaran) yang mempunyai ciri-ciri
yang sama. Hasil identifikasi macam ini digunakan dalam menyusun materi belajar
yang bersifat universal. Hal ini sebagaimana telah dilakukan dalam menetapkan
kebutuhan belajar minimal untuk peserta didik dengan sasaran tertentu seperti
melihat latar belakang pendidikan, usia, atau jabatan dll. Kemudian
dikembangkan ke proses belajar dalam pembelajaran yang lebih khusus.
Keuntungan
dari tipe ini adalah bahwa hasil identifikasi dapat diperoleh dari sasaran yang
luas, sehingga ada kecenderungan penyelesaiannya menggunakan harga yang murah,
dan relatif lebih efesien dibanding dengan tipe induktif, karena informasi
kebutuhan belajar yang diperoleh dapat digunakan untuk penyelenggaraan proses
belajar dalam pelatihan secara umum. Namun demikian, model ini mempunyai
kelemahan dari segi efektifitasnya, karena belum tentu semua peserta didik
(sasaran) diduga memiliki karakteristik yang sama akan memanfaatkan, dan
membutuhkan hasil identifikasi tersebut. Hal ini didasarkan atas kenyataan
bahwa keanekaragaman peserta didik cenderung memiliki minat dan kebutuhan belajar
yang berbeda.[7]
Kebutuhan
belajar hasil identifikasi model deduktif termasuk jenis kebutuhan terduga
(expected needs), dalam pengertian bahwa peserta didik pada umumnya diduga
membutuhkan jenis kebutuhan belajar tersebut. Hal menarik bahwa, pernyataan jenis
kebutuhan bisa tidak diungkapkan oleh diri peserta didik secara langsung, akan
tetapi oleh pihak lain yang diduga memahami tentang kondisi peserta didik. Oleh
karena itu, mengapa banyak terjadi "Drop out dalam pembelajaran",
atau kebosanan belajar, tidak adanya motivasi, malas, karena ada kecenderungan
bahan belajar yang dipelajarinya dalam pembelajaran kurang sesuai dengan
kebutuhan belajar yang dirasakannya.
Identifikasi
pada model ini dilakukan secara universal kepada tiga pihak sasaran, yaitu:
a.
Keluarga peserta pelatihan atau anggota
masyarakat lain yang berkepentingan dengan pendidikan.
b.
Pelaksana dan Pengelola Pelatihan: Kepala,
penyelenggara, pelatih (tutor) dll. Sasaran ini memiliki pengalaman tentang
wujud penyelenggaraan pelatihan yang telah diselenggarakan serta berbagai hal
yang berkaitan dengan aspek-aspek kegiatan belajar.
c.
Peserta pelatihan, untuk setiap jenis
materi pembelajaran yang akan dikembangkan di kelas, sasaran ini ditetapkan
untuk mencocokan keinginan dan kemampuan pelatih (tutor) dalam mengembangkan
proses dan materi pembelajaran.
Pelaksanaan identifikasi kebutuhan pelatihan(kebutuhan
belajar) pada model deduktif ini dimulai dari identifikasi kepada kedua pihak
(keluarga, orang tua, dan pengelola pelatihan) kemudian penetapan keputusannya
disesuaikan dengan jenis kebutuhan pelatihan yang diharapkan oleh peserta.
Teknik yang digunakan dalam kegiatan identifikasi kebutuhan model ini adalah
kuesioner, dan inventori yang disampaikan kepada ketiga pihak di atas, yang
intinya menanyakan atau menyusun daftar jenis-jenis kebutuhan belajar yang
diduga diperlukan untuk peserta.[8]
3. Model Klasik
Model
klasik ini ditujukan untuk menyesuaikan bahan belajar yang telah ditetapkan
dalam kurikulum atau program belajar dengan kebutuhan belajar yang dirasakan
peserta (sasaran). Berbeda dengan model yang pertama, pada model ini pendidik
telah memiliki pedoman yang berupa kurikulum, misalnya; Kurikulum pelatihan
prajabatan, kurikulum pelatihan kepemimpinan, satuan pelajaran dalam pelatihan,
modul, hand-out dll. Identifikasi kebutuhan belajar dilakukan secara terbuka
dan langsung kepada peserta didik (sasaran) yang sudah ada di kelas. Pendidik
mengidentifikasi kesenjangan di antara kemampuan yang telah dimiliki peserta
didik dengan bahan belajar yang akan dipelajari. Tujuan dari model klasik ini
adalah untuk mendekatkan kemampuan yang telah dimiliki dengan kemampuan yang
akan dipelajari, sehingga peserta pelatihan didik tidak akan memperoleh
kesenjangan dan kesulitan dalam mempelajari bahan belajar yang baru. Keuntungan
dari model ini adalah untuk memudahkan peserta didik dalam mempelajari bahan
belajar, di samping kemampuan yang telah dimiliki akan menjadi modal untuk
memahami bahan belajar yang baru. Kelemahannya adalah bagi peserta didik yang
terlalu jauh kemampuan dasarnya dengan bahan belajar yang akan dipelajari
menuntut untuk mempelajari terlebih dahulu kesenjangan kemampuan tersebut,
sehingga dalam mempelajari kebutuhan belajar yang diharapkannya membutuhkan
waktu yang lama.
Kegiatan
identifikasi kebutuhan belajar model klasik ini dilakukan pendidik kepada
peserta didik, dengan cara pemberian tes, wawancara, atau kartu kebutuhan
belajar, untuk menetapkan kemampuan awal peserta (entry behavior level).
Selanjutnya, kemampuan awal tersebut dibandingkan dengan susunan pengetahuan
yang terdapat dalam materi (modul, satpel dll) yang sudah ada. Apabila pendidik
memperoleh hasil bahwa kemampuan peserta didik di bawah batas awal bahan
belajar yang terdapat pada program belajar, maka peserta didik perlu memberikan
supplement terlebih dahulu, sampai mendekati batas bahan pelatihan yang akan
dipelajari. Namun, apabila pendidik memperoleh hasil bahwa kemampuan awal sudah
berada pada pokok bahasan yang ada pada program, maka peserta pembelajaran
bertugas untuk menetapkan strategi belajar dalam pelatihan yang tepat untuk
membelajarkan peserta dari pokok bahasan pertama. Penetapan metode belajar ini
ditujukan untuk menghilangkan kebosanan pada diri peserta.[9]
C. Tahap- tahap Pembelajaran.
1.
Tahapan Perencanaan (Plan)
Dalam
tahap perencanaan, para guru yang tergabung dalam Lesson Study berkolaborasi
untuk menyusun RPP yang mencerminkan pembelajaran yang berpusat pada siswa.
Perencanaan diawali dengan kegiatan menganalisis kebutuhan dan permasalahan
yang dihadapi dalam pembelajaran, seperti tentang: kompetensi dasar, cara
membelajarkan siswa, mensiasati kekurangan fasilitas dan sarana belajar, dan
sebagainya, sehingga dapat ketahui berbagai kondisi nyata yang akan digunakan
untuk kepentingan pembelajaran. Selanjutnya, secara bersama-sama pula dicarikan
solusi untuk memecahkan segala permasalahan ditemukan. Kesimpulan dari hasil
analisis kebutuhan dan permasalahan menjadi bagian yang harus dipertimbangkan
dalam penyusunan RPP, sehingga RPP menjadi sebuah perencanaan yang benar-benar
sangat matang, yang didalamnya sanggup mengantisipasi segala kemungkinan yang
akan terjadi selama pelaksanaan pembelajaran berlangsung, baik pada tahap awal,
tahap inti sampai dengan tahap akhir pembelajaran.
2.
Tahapan Pelaksanaan (Do)
Pada
tahapan yang kedua, terdapat dua kegiatan utama yaitu: (1) kegiatan pelaksanaan
pembelajaran yang dilakukan oleh salah seorang guru yang disepakati atau atas
permintaan sendiri untuk mempraktikkan RPP yang telah disusun bersama, dan (2)
kegiatan pengamatan atau observasi yang dilakukan oleh anggota atau komunitas
Lesson Study yang lainnya (baca: guru, kepala sekolah, atau pengawas sekolah,
atau undangan lainnya yang bertindak sebagai pengamat/observer). Beberapa hal
yang harus diperhatikan dalam tahapan pelaksanaan, diantaranya:
a.
Guru melaksanakan pembelajaran sesuai
dengan RPP yang telah disusun bersama.
b.
Siswa diupayakan dapat menjalani proses
pembelajaran dalam setting yang wajar dan natural, tidak dalam keadaan under
pressure yang disebabkan adanya program Lesson Study.
c.
Selama kegiatan pembelajaran berlangsung,
pengamat tidak diperbolehkan mengganggu jalannya kegiatan pembelajaran dan
mengganggu konsentrasi guru maupun siswa.
d.
Pengamat melakukan pengamatan secara
teliti terhadap interaksi siswa-siswa, siswa-bahan ajar, siswa-guru,
siswa-lingkungan lainnya, dengan menggunakan instrumen pengamatan yang telah
disiapkan sebelumnya dan disusun bersama-sama.
e.
Pengamat harus dapat belajar dari
pembelajaran yang berlangsung dan bukan untuk mengevalusi guru.
f.
Pengamat dapat melakukan perekaman melalui
video camera atau photo digital untuk keperluan dokumentasi dan bahan analisis
lebih lanjut dan kegiatan perekaman tidak mengganggu jalannya proses
pembelajaran.
g.
Pengamat melakukan pencatatan tentang
perilaku belajar siswa selama pembelajaran berlangsung, misalnya tentang
komentar atau diskusi siswa dan diusahakan dapat mencantumkan nama siswa yang
bersangkutan, terjadinya proses konstruksi pemahaman siswa melalui aktivitas
belajar siswa. Catatan dibuat berdasarkan pedoman dan urutan pengalaman belajar
siswa yang tercantum dalam RPP.
3.
Tahapan Refleksi (Check)
Tahapan
ketiga merupakan tahapan yang sangat penting karena upaya perbaikan proses
pembelajaran selanjutnya akan bergantung dari ketajaman analisis para perserta
berdasarkan pengamatan terhadap pelaksanaan pembelajaran yang telah
dilaksanakan. Kegiatan refleksi dilakukan dalam bentuk diskusi yang diikuti
seluruh peserta Lesson Study yang dipandu oleh kepala sekolah atau peserta
lainnya yang ditunjuk. Diskusi dimulai dari penyampaian kesan-kesan guru yang
telah mempraktikkan pembelajaran, dengan menyampaikan komentar atau kesan umum
maupun kesan khusus atas proses pembelajaran yang dilakukannya, misalnya
mengenai kesulitan dan permasalahan yang dirasakan dalam menjalankan RPP yang
telah disusun.
Selanjutnya,
semua pengamat menyampaikan tanggapan atau saran secara bijak terhadap proses
pembelajaran yang telah dilaksanakan (bukan terhadap guru yang bersangkutan).
Dalam menyampaikan saran-saranya, pengamat harus didukung oleh bukti-bukti yang
diperoleh dari hasil pengamatan, tidak berdasarkan opininya. Berbagai
pembicaraan yang berkembang dalam diskusi dapat dijadikan umpan balik bagi
seluruh peserta untuk kepentingan perbaikan atau peningkatan proses
pembelajaran. Oleh karena itu, sebaiknya seluruh peserta pun memiliki
catatan-catatan pembicaraan yang berlangsung dalam diskusi.[10]
4.
Tahapan Tindak Lanjut (Act)
Dari hasil
refleksi dapat diperoleh sejumlah pengetahuan baru atau keputusan-keputusan
penting guna perbaikan dan peningkatan proses pembelajaran, baik pada tataran
indiividual, maupun menajerial. Pada tataran individual, berbagai temuan dan
masukan berharga yang disampaikan pada saat diskusi dalam tahapan refleksi
(check) tentunya menjadi modal bagi para guru, baik yang bertindak sebagai
pengajar maupun observer untuk mengembangkan proses pembelajaran ke arah lebih
baik. Pada tataran manajerial, dengan pelibatan langsung kepala sekolah sebagai
peserta Lesson Study, tentunya kepala sekolah akan memperoleh sejumlah masukan
yang berharga bagi kepentingan pengembangan manajemen pendidikan di sekolahnya
secara keseluruhan. Kalau selama ini kepala sekolah banyak disibukkan dengan
hal-hal di luar pendidikan, dengan keterlibatannya secara langsung dalam Lesson
Study, maka dia akan lebih dapat memahami apa yang sesungguhnya dialami oleh
guru dan siswanya dalam proses pembelajaran, sehingga diharapkan kepala sekolah
dapat semakin lebih fokus lagi untuk mewujudkan dirinya sebagai pemimpin
pendidikan di sekolah.[11]
Ada
empat tahap dalam melakukan analisa kebutuhan yakni perencanaan, pengumpulan
data, analisa data dan menyiapkan laporan akhir.
a.
Perencanaan : yang perlu dilakukan; membuat klasifikasi siswa,
siapa yang akan terlibat dalam kegiatan dan cara pengumpulannya. (Morrison,
2001 : 32)
b.
Pengumpulan
data : perlu
mempertimbangkan besar kecilnya sampel dalam penyebarannya (distribusi)
(Morrison,2001 : 33).
c.
Analisa data : setelah data terkumpul kemudian data dianalisis
dengan pertimbangan : ekonomi, rangking, frequensi dan kebutuhan
d.
Membuat
laporan akhir : dalam sebuah laporan analisa kebutuhan mencakup empat bagian; analisa
tujuan, analisa proses, analisa hasil dengan table dan penjelasan singkat,
rekomendasi yang terkait dengan data. (Morrison, 2001: 33-34).
Menurut Atwi Suparman (2001 : 65-72) ada 8 tahap dalam mengidentifikasi
kebutuhan pembelajaran sebagai berikut:[12]
1.
Tahap 1
Mengidentifikasi
kesenjangan hasil prestasi saat ini dengan yang diidealkan. Untuk memperoleh
data tersebut menggunakan cara ; membaca laporan tertulis observasi, wawancara,
angket dan dokumen.
2.
Tahap 2
Sebelum mengambil
tindakan pemecahan masalah, kesenjangan tersebut harus dinilai terlebih dahulu
dari segi:
- Tingkat signifikasi pengaruhnya.
- Luas ruang lingkup.
- Pentingnya peranan kesenjangan terhadap masa depan lembaga atau program.
3. Tahap 3
a. Menganalisis kemungkinan penyebab kesenjangan melalui observasi,wawancara,
analisa logis.
b. Memisahkan kemungkinan penyebab yang tidak berasal dari kekurangan
pengetahuan, ketrampilan dan sikap untuk diserahkan penyelesaiannya kepada
pihak lain.
c. Mengelompokkan kemungkinan penyebab yang berasal dari kekurangan
pengetahuan ketrampilan dan sikap tertentu untuk diteruskan ke langkah 4.
4. Tahap 4
Menginterview siswa
untuk memisahkan antara yang sudah pernah dan yang belum memperoleh pendidikan,
bagi yang sudah berpendidikan melanjutkan ke-langkah 5 dan bagi yang belum
meneruskan ke-langkah 8.
5. Tahap 5
Bagi peserta yang
sudah berpendidikan pada langkah ini dikelompokkan lagi mejadi peserta yang
sering mengikuti pendidikan menuju ke-langkah 6 dan jarang mengikuti pendidikan
melanjutkan ke-langkah 7.
6.
Tahap 6
Kelompok yang sudah
sering mendapat pendidikan diberi umpan balik atas kekurangannya dan diminta
untuk mempraktekkan kembali sampai dapat melakukan tugasnya seperti yang
diinginkan.
7.
Tahap 7
Bagi kelompok yang
masih jarang mengikuti pendidikan diberi kesempatan lebih banyak untuk berlatih
kembali, ini perlu disupervisi dari dekat agar mencapai hasil yang diinginkan.
8.
Tahap 8
Untuk kelompok
peserta yang belum pernah memperoleh pendidikan perlu dibuatkan intruksional
yang mencakup pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan untuk diketahui
peserta.
D.
Sumber-sumber Analisis
Kebutuhan Pembelajaran.
Berbagai sumber belajar dapat digunakan baik oleh
pengajar maupun peserta didik dalam pembelajaran. Jenis-jenis sumber belajar
antara lain:
1.
Buku Kurikulum.
Buku kurikulum sangat penting sebagai pedoman untuk
menentukan standar kompetensi, kompetensi dasar, dan materi pembelajaran.
Pengajar harus menjabarkan materi pokok menjadi bahan ajar yang terperinci.
2.
Buku Teks.
Buku teks
digunakan sebagai sumber bahan belajar. Buku teks tidak selamanya harus satu
jenis, melainkan hendaknya bervariasi agar mendapatkan materi pembelajaran yang
luas.
3.
Sumber belajar media elektronik hasil
rekayasa teknologi, seperti komputer (internet), televisi, radio, kaset, dan
sebagainya. Media elektronik ini yang dimanfaatkan adalah program-programnya
yang berkaitan dengan bahan belajar suatu mata pelajaran.
4.
Internet.
Merupakan
sumber untuk mendapatkan segala macam bahan ajar. Bahan ajar tersebut bisa
dicetak atau dicopy.
5.
Penerbitan berkala, seperti surat
kabarharian atau majalah yang terbit mingguan atau bulanan.
6.
Laporan hasil penelitian, biasanya
diterbitkan oleh lembaga penelitian, perguruan tinggi, atau para peneliti.
7.
Jurnal, adalah penerbitan hasil
penelitian dan pemikiran ilmiah.
8.
Nara Sumber, yaitu seperti pakar atau ahli
mata pelajaran dan kalangan professional.
9.
Lingkungan, seperti lingkungan alam,
ekonomi, sosial, seni, budaya, teknologi, dan industri.
Pembelajaran biologi pada hakikatnya
merupakan suatu proses untuk menghantarkan siswa ke tujuan belajarnya, dan
biologi itu sendiri berperan sebagai alat untuk mencapai tujuan tersebut.
Biologi sebagai ilmu dapat diidentifikasikan melalui objek, benda alam,
persoalan/gejala yang ditunjukkan oleh alam, serta proses keilmuan dalam
menemukan konsepkonsep biologi. Proses pembelajaran biologi merupakan
penciptaan situasi dan kondisi yang kondusif sehingga terjadi interaksi antara
subjek didik dengan objek belajarnya yang berupa makhluk hidup dan segala aspek
kehidupannya. Pelajaran biologi harus mampu memberikan kompetensi kepada siswa
dalam hal;
a.
Berpikir secara kritis, rasional, dan
kreatif, dalam menanggapi hal-hal yang berkaitan dengan pembelajaran biologi
b.
Berpartisipasi secara aktif dan tanggung
jawab
c.
Berkembang secara positif
d.
Berinteraksi secara langsung maupun tidak
langsung
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Desain pembelajaran dapat diartikan sebagai
merancang, memikirkan, menyusun perencanaan
pembelajaran yang harus sesuai dengan konsep pendidikan dan pembelajaran yang
dianut dalam kurikulum yang digunakan dan merupakan Sebuah proses intelektual
untuk membantu pendidik dalam menganalisis kebutuhan peserta didik dan
membangun berbagai kemungkinan untuk merespon kebutuhan tersebut.
Kebutuhan
belajar adalah kegiatan atau usaha yang dilakukan untuk meneliti dan menemukan
hal-hal yang diperlukan dalam belajar dan hal-hal yang dapat membantu
tercapainya tujuan belajar itu sendiri, baik itu proses belajar yang
berlangsung di lingkungan keluarga (informal), sekolah (formal), maupun
masyarakat (non-formal). Yang tujuannya untuk melibatkan dan memotivasi peserta
didik agar kegiatan belajar dirasakan sebagai bagian dari kehidupan dan mereka
merasa memilikinya.
Sumber belajar adalah
sekumpulan bahan atau situasi yang diciptakan dengan sengaja dan dibuat agar
memungkinkan siswa belajar sendiri secara individual. (Percival dan Ellington,
1988). Sumber belajar adalah bahan-bahan yang dapat dimanfaat dan
diperlukan untuk membantu pengajar maupun peserta didik dalam proses
pembelajaran. Sumber belajar berupa bahan belajar adalah rujukan, referensi,
atau literatur yang digunakan baik untuk menyusun silabus maupun menyusun buku
yang digunakan oleh pengajar dalam mengajar, sehingga ketika menyusun silabus
akan terhindar dari kesalahan konsep. Buku dan sumber lain merupakan rujukan.
B. Saran
Semoga kedepannya kita semua semakin digerakkan
hatinya oleh Allah SWT untuk tetap dan istiqomah dalam menjalankan kewajiban
kita sebagai penuntut ilmu yakni mengerjakan tugas dengan tepat waktu.
DAFTAR PUSTAKA
Syaiful, Sagala. 2005. Konsep
dan Makna Pembelajaran. Bandung : Alfabeta
Sanjaya, Wina. 2009. Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran.
Jakarta : Kencana.
Gafur, Abdul. 1980. Desain Instruksional. Solo: Tiga Serangkai.
Suparman, Atwi dan Purwanto. 1997. Analisis Pembelajaran. Jakarta: Depdikbud.
Rahman, Muhammad
dan Sofan Amari. 2013. Strategi dan
Desainp Pengembangan Sistem Pembelajaran. Jakarta : Pustakaraya
Hakim,
Lukmanul. 2009. Perencanaan Pembelajaran. Jakarta : Wacana Prima.
Morrison.
2011. Designing Effective Instruction,
Sixht Edition. New Yourk: John Wiley & Sons, INC.
[1] Sagala Syaiful. Konsep dan Makna Pembelajaran. (Bandung : Alfabeta, 2005), hlm. 139
[2] Wina Sanjaya. Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran.
(Jakarta : Kencana, 2009), hlm. 67
[3]
Gafur, Abdul. Desain Instruksional. (Solo: Tiga Serangkai. 1980)
[4] Morrison.
Designing Effective Instruction, Sixht
Edition. New Yourk. 2011. Hal 28-30
[5]
Suparman, Atwi dan Purwanto. Analisis Pembelajaran. (Jakarta: Depdikbud.1997)
[6]
Muhammad Rahman dan Sofan Amari. Strategi dan Desainp Pengembangan Sistem
Pembelajaran. Jakarta : Pustakaraya, 2013.
[7] Ibid. M, 2013
[8] Ibid, M.
2013
[9]
Ibid, M, 2013
[10] Ibid, M, 2013
[11] Lukmanul Hakim. Perencanaan
Pembelajaran. Jakarta : Wacana Prima, 2009.
[12] Suparman, Atwi dan Purwanto. Analisis Pembelajaran. Jakarta. 1997